Penting diketahui bagi HR, ini panduan lengkap UU Ketenagakerjaan terbaru di Indonesia akan dibahas Mekari Talenta. Hal ini termasuk perubahan terkait Undang-Undang (UU) tentang Cipta Kerja atau UU No. 11 Tahun 2020 yang baru.
Sebelumnya, pemerintah telah membuat Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berfungsi untuk mengatur perusahaan dan karyawan atau pekerja.
Tujuan dari UU Ketenagakerjaan ini adalah untuk menjelaskan aturan main yang harus dipahami serta menjadi patokan antara perusahaan dengan karyawan.
Simak selengkapnya bagaimana peraturan undang-undang ini.
Penting bagi HR, Ini Panduan Lengkap UU Ketenagakerjaan Terbaru Indonesia
UU Ketenagakerjaan terdiri atas 193 pasal.
Dari 193 pasal, ada beberapa pasal yang sangat penting yang harus dipahami bagi perusahaan dan karyawan.
Berikut ini ulasannya seperti dikutip Mekari Talenta.
Waktu Kerja
Pada Pasal 7 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur mengenai waktu kerja karyawan atau pekerja, yaitu:
- 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
- 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jan 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Status Karyawan Pada UU Ketenagakerjaan Terbaru
Kontrak Kerja atau Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja dan pengusaha secara lisan dan/atau tulisan, baik untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan.
Dalam contoh kontrak kerja karyawan, pekerja dapat mengetahui status kerja.
Status kerja diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 56.
Baca juga: Begini Cara Membuat Surat Keterangan Kerja Karyawan Tetap
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak diatur dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan terbaru.
PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
Dalam Pasal 59 ayat (1) Pekerja dianggap sebagai PKWT apabila kontrak kerja tidak lebih dari 3 (tiga) tahun dan tidak ada masa percobaan kerja (probation).
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) diatur dalam Pasal 60 UU Ketenagakerjaan.
PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap atau biasa disebut karyawan tetap.
Pada PKWTT dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja (probation) dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, bila ada yang mengatur lebih dari 3 bulan, maka berdasarkan aturan hukum, sejak bulan keempat, pekerja dinyatakan sebagai pekerja tetap (PKWTT).
Outsourcing
Outsourcing atau alih daya diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 65 ayat (1).
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Pekerja outsourcing tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Baca juga: 5 Perbedaan Karyawan Outsourcing dan Karyawan Kontrak serta Panduan Undang-Undangnya
Jam Lembur
Pada Pasal 78 UU Ketenagakerjaan terbaru diatur mengenai waktu kerja lembur, yaitu:
- Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
- Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur.
Perhitungan Upah Lembur
Perhitungan diatur dalam Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.
Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah bulanan dengan cara menghitung upah harian adalah 1/173 upah sebulan.
Rumus perhitungan upah lembur didasarkan pada upah adalah sebagai berikut:
- Apabila lembur dilakukan pada hari kerja :
– Upah kerja lembur pertama dibayar 1,5 kali upah sejam
– Setiap jam kerja lembur berikutnya dibayar dua kali upah sejam - Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 6 hari kerja :
– Upah kerja lembur untuk 7 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam
– Upah kerja lembur untuk jam kedelapan dibayar 3 kali upah sejam
– Upah kerja lembur jam kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 kali upah sejam - Apabila kerja lembur dilakukan pada libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek misal Jumat :
– Upah kerja lembur untuk 5 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam,
– Upah kerja lembur untuk jam keenam dibayar 3 kali upah sejam
– Upah kerja lembur jam ketujuh dan kedelapan dibayar 4 kali upah sejam. - Apabila kerja lembur dilakukan pada libur akhir pekan atau hari libur resmi untuk waktu 5 hari kerja :
– Upah kerja lembur untuk 8 jam pertama dibayar 2 kali upah sejam,
– Upah kerja lembur untuk jam kesembilan dibayar 3 kali upah sejam
– Upah kerja lembur jam kesepuluh dan kesebelas dibayar 4 kali upah sejam.
Cuti
Berdasarkan Undang Undang Ketenagakerjaan terbaru pada Pasal 79 ayat (2), pekerja yang telah bekerja minimal 1 (satu) tahun berturut-turut berhak untuk mendapatkan cuti sekurang-kurangnya 12 hari.
Namun, perusahaan dapat menyesuaikan peraturan tentang cuti tahunan karyawan swasta berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah disepakati antara perusahaan dan pekerja.
Aturan Pengupahan
Dasar pengupahan di Indonesia diatur pada UU Ketenagakerjaan terbaru Pasal 88 ayat (1) yaitu setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Adapun kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan PPh pasal 21.
Pada pasal 88 ayat (4), pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), produktivitas, serta pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah juga melarang pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum sebagaimana diatur pada Pasal 89.
Jika pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, dapat dilakukan penangguhan.
Aturannya disesuaikan dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan.
Baca juga: Unsur Hubungan Kerja dalam Membuat Perjanjian Kerja
Kewajiban Pembayaran Upah
Kewajiban pembayaran upah diatur dalam UU Ketenagakerjaan terbaru Pasal 93 ayat (2) dimana upah tetap harus dibayarkan pengusaha ke pekerja apabila:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, diatur untuk melaksanakan pembayaran upah sebagaimana disebutkan di atas.
Sakit
Apabila karyawan tidak dapat melakukan pekerjaannya dikarenakan sakit, pengusaha tetap wajib membayar upah/gajinya.
Hal ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 93 ayat (3), yaitu:
- Untuk 4 bulan pertama dibayar 100% dari upah,
- Untuk 4 bulan kedua dibayar 75% dari upah,
- Untuk 4 bulan ketiga dibayar 50% dari upah,
- Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
Perhitungan Upah Pokok
Di dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 94 terutama yang menyangkut komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap.
Maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
Baca juga: Karyawan Outsourching, Aturan Hukum dan Masa Kerjanya
Sanksi Pekerja dan Perusahaan
Sanksi bagi pekerja dan perusahaan terkait dengan pengupahan diatur dalam Pasal 95 UU Ketenagakerjaan, yaitu:
- (1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesenjangan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
- (2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan penbayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
- (3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
- (4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Tuntutan Kedaluwarsa
Pada Pasal 96 UU Ketenagakerjaan dijelaskan tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 tahun sejak timbulnya hak.
Pemutusan Hubungan Kerja UU Ketenagakerjaan Terbaru
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diatur dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 150.
Ketentuan mengenai PHK dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak. Milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain.
Pada prinsipnya, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikata buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
Baca juga: Menjawab Soal PHK dan ‘Dirumahkan’ dari Aspek Hukum saat COVID-19
Larangan Pengusaha Melakukan PHK UU Ketenagakerjaan Terbaru
Pada Pasal 153 UU Ketenagakerjaan, Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peratauran perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan mengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya berlum dapat dipastikan.
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayata (1) batal demi hukum dan pengusaha waajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Baca juga: Menghitung Bonus Tahunan Karyawan, Ini Contohnya
Pesangon atau Uang Penghargaan Korban PHK UU Ketenagakerjaan Terbaru Â
Pekerja yang terkena PHK, berhak mendapatkan uang pesangon. Ini diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
Perhitungan pesangon pensiun dan PHK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
- masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
- masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 2 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 6 (enam) atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
- masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang darai 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
- masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Sedangkan Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut :
- masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
- masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
- masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
- masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
- masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
- masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
- masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
- masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.
Adapun uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
- cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
- pengganti perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Perubahan Terkait UU Ketenagakerjaan Terbaru Pada Undang-undang (UU) Tentang Cipta Kerja atau UU No.11 Tahun 2020 Yang Baru.
Bagaimana, apakah sudah paham dengan beberapa pasal yang sangat penting bagi perusahaan dan karyawan dalam Undang Undang Ketenagakerjaan?
Untuk dokumen lengkapnya, Anda bisa unduh di sini.
Atau untuk perubahannya adalah sebagai berikut.
Mencabut:
- UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan
- Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie)
Mengubah:
- UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
- UU No. 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan
- UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
- UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
- UU No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek
- UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
- UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
- UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
- UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
- UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten
- UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
- UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa
- UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
- UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
- UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal
- UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
- UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
- UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
- UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
- UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
- UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
- UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
- UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
- UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan
- UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan
- UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
- UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
- UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
- UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
- UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
- UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
- UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
- UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
- UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus
- UU No. 38 Tahun 2009 tentang POS
- UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( UU Ketenagakerjaan terbaru)
- UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
- UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
- UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
- UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
- UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
- UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
- UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
- UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
- UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
- UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
- UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
- UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
- UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
- UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
- UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
- UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian
- UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
- UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan
- UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
- UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
- UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
- UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
- UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
- UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
- UU No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang
- UU No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang
- UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
- UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
- UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
- UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
- UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
- UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran
- UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
- UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
- UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
- UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
- UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
Gunakan Aplikasi Talenta HRIS Agar Lebih Mudah Mengikuti Peraturan Pemerintah yang Baru Terkait UU Ketenagakerjaan Terbaru
Agar lebih mudah, Anda bisa menggunakan teknologi software HRIS berbasis cloud seperti Mekari Talenta.
Fitur yang dimiliki Mekari Talenta di dalamnya memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam mengelola database dan aktivitas karyawannya secara aman dan teratur sesuai dengan aturan UU Ketenagakerjaan Terbaru.
Fitur-fitur yang ada di Mekari Talenta seperti payroll system, absensi online, slip gaji online, dan masih banyak lainnya, dapat membantu pekerjaan perusahaan secara praktis.