Other 7 min read

Menjawab Soal PHK dan ‘Dirumahkan’ dari Aspek Hukum

Tayang
13 May, 2023
Diperbarui
20 Maret 2024

Insight by Talenta mencoba menjawab pertanyaan tentang PHK, dan ‘Dirumahkan’ dari Aspek Hukum saat pandemi COVID-19 terjadi. Diketahui kalau dampak krisis ekonomi global akibat pandemi Virus Corona atau COVID-19 sudah merambat ke Indonesia.

Sama seperti negara lainnya, perekonomian nasional babak belur dihantam COVID-19.

Banyak pengusaha yang menyatakan sulit bertahan saat situasi krisis saat ini. Beberapa diantara mereka bahkan sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara masif.

Saya Mau Coba Gratis Talenta Sekarang!

atau

Saya Mau Bertanya Ke Sales Talenta Sekarang!

Beberapa lagi memberikan penawaran kepada karyawannya untuk mengambil cuti tak berbayar (unpaid leave) alias dirumahkan.

Ini dilakukan agar perusahaan tetap bertahan saat mereka mengalami pukulan yang sangat berat akibat pandemi COVID-19.

Lantas apakah kebijakan ini sudah tepat? Ada banyak Pertanyaan tentang PHK ketika pandemi Covid-19 perlu dijawab.

PLT Kepala Divisi SDM GA PT LRT Jakarta, Bintang Kemal Hersanto, mengungkapkan bahwa krisis yang terjadi saat ini bukanlah yang pertama kali.

Indonesia pernah dilanda krisis ekonomi pada tahun 1998 yang saat itu juga sama menggerogoti perekonomian nasional.

“Di kuartal I tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 2,97 persen. Itu the worst in the past 19 years,” kata dia saat diskusi Insight Talenta yang diadakan Mekari Talenta dengan topik Panduan Taktis untuk SDM & Pengusaha dalam Menghadapi Krisis COVID-19, Kamis (7/5).

Menurut Bintang, sudah sepantasnya pebisnis was-was karena pertumbuhan ekonomi nasional tak sampai 3 persen.

Saya Mau Coba Gratis Talenta Sekarang!

atau

Saya Mau Bertanya Ke Sales Talenta Sekarang!

Beberapa kebijakan kemudian diambil, sebut saja melakukan PHK hingga merumahkan sementara karyawannya.

Ini dilakukan agar cash flow perusahaan tetap seimbang dan bisnis tetap bergerak di masa pandemi.

“Kalau diperhatikan, kebanyakan perusahaan di tengah pandemi cash flownya kurang baik. Langkah yang seharusnya diambil terakhir kali seperti PHK atau lay off, malah diambil terlalu dini.

Pengecualian untuk perusahaan yang skala kecil ya, seperti yang bergantung dengan pemasukan harian,” tuturnya.

Beruntungnya, LRT Jakarta belum melakukan kebijakan terburuk untuk karyawannya yaitu tidak melakukan PHK atau lay off.

Perusahaan memilih untuk tetap mempertahankan karyawan dengan budget perusahaan yang terstruktur rapi.

“HR harus punya pemikiran yang strategis, mendukung perusahaan serta kepala divisi atau top management.

HRD juga harus bisa memiliki sosok yang tenang di saat ada situasi tertentu.

Jangan latah melihat perusahaan lain yang sudah melakukan lay off, kita juga jadi ikut-ikutan lay off,” tegas Bintang.

Insight by Talenta mencoba menjawab pertanyaan tentang PHK, dan 'Dirumahkan' dari Aspek Hukum saat pandemi COVID-19 terjadi.

Insight by Talenta mencoba menjawab pertanyaan tentang PHK, dan ‘Dirumahkan’ dari Aspek Hukum saat pandemi COVID-19 terjadi.

PHK dari Sudut Pandangan Hukum

Kebijakan perusahaan untuk melakukan PHK dan merumahkan sementara saat situasi krisis akibat COVID-19 memang sulit diterima karyawan. Namun hal ini semata-mata dilakukan untuk menyeimbangkan keuangan perusahaan, di saat gerak bisnis mandek.

Advokat sekaligus Founder Industrial Relation (IR) Talk, Masykur Isnan, mengatakan tidak dipungkiri COVID-19 memberikan dampak yang cukup besar bagi perekonomian nasional.

Berdasarkan catatannya diambil dari Biro Humas Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per 20 April 2020, jumlah pekerja yang terdampak COVID-19 sebanyak 2.084.593 orang yang berasal dari sektor formal maupun informal dari 116.370 perusahaan.

Dari jumlah tersebut, jumlah pekerja formal yang dirumahkan adalah 1.304.777 dari 43.690 perusahaan.

Sedangkan 241.431 pekerja formal dari 41.236 perusahaan sudah di-PHK. Sektor informal juga terpukul karena kehilangan 538.385 pekerja yang terdampak dari 31.444 perusahaan atau UMKM.

“Harapan kita jangan meningkat, kita berharap justru berkurang,” kata dia.

Menilik kebijakan PHK yang dilakukan perusahaan, Masykur meminta untuk melihat dari berbagai sisi. Misalnya kondisi force majeur yang dialami perusahaaan. Masykur pun menggelontorkan ada beberapa produk hukum yang bisa menjadi acuan. Misalnya:

Pasal 164 (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa.

Tidak hanya itu, ada juga Kitab Undang Undang Hukum Perdata pada Pasal 1244 dan Pasal 1245. Kemudian ada beberapa putusan Pengadilan (Yurisprudensi), seperti:

  • Putusan MA No 435/K/PDT.Sus-PHI/2015
  • Putusan PHI PN palu No.12/Pdt.Sus PHI/2014/PN Pal
  • Putusan PHI PN Medan No.242/Pdt.Sus PHI/2018/PD Mdn

“Tidak mudah bagi perusahaan untuk melakukan langkah ini (PHK). Ini langkah paling pahit yang diambil. Kami sampaikan lay off adalah langkah terakhir karena berkaitan dengan citra bisnis dan ini juga bukan pilihan yang mudah,” ucap dia.

Baca juga: Ini Daftar Terbaru Jenis Usaha Terdampak COVID-19 yang Bebas PPh 21

Pertanyaan tentang PHK : Karyawan Dipaksakan Dirumahkan, Harus Bagaimana?

Selain PHK, kebijakan lain dari perusahaan merespons dampak COVID-19 adalah dengan merumahkan karyawan (unpaid leave). Untuk hal ini, Masykur menyatakan bahwa “dirumahkan” tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Hanya saja, ada beberapa produk hukum yang mengenal istilah “dirumahkan”. Seperti merujuk kepada Butir f Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Kepada Pimpinan Perusahaan di Seluruh Indonesia No. SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja Massal (“SE Menaker 907/2004”) yang menggolongkan “meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu” sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan sebelum melakukan pemutusan hubungan kerja.

Selain itu, istilah tersebut dapat juga ditemukan dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. SE-05/M/BW/1998 Tahun 1998 tentang Upah Pekerja yang Dirumahkan Bukan Ke Arah Pemutusan Hubungan Kerja (“SE Menaker 5/1998”).

“Kalau konteks ini tidak diatur (UU Ketenagakerjaan). Lalu bagaimana dalam kondisi saat ini? Ini sama seperti dirumahkan yaitu karyawan kembali ke rumah sementara waktu dan sampai kapan? sampai normal kembali.

Kenapa pilihan ini diambil? Ini bukan pilihan utama perusahaan. Semangatnya yang dibangun perusahaan dan pekerja harus memahami penanganan COVID-19,” jelasnya.

Pertanyaan tentang PHK : Karyawan Dipaksakan Dirumahkan, Harus Bagaimana?

Baca juga: Bagaimana Cara HR Mengelola Krisis saat Pandemi COVID-19?

Pertanyaan tentang PHK Ketika Pandemi : Bagaimana Nasib THR bagi Karyawan yang Dirumahkan? 

Menurut Masykur, THR tetap harus diberikan kepada karyawan yang statusnya dirumahkan.

Alasannya karena tidak diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Buruh/Pekerja di Perusahaan.

“Artinya terlepas dari unpaid leave, THR tetap harus diberikan,” tegas dia.

Di dalam Permenaker Nomor 6 tahun 2016 memang perusahaan diwajibkan untuk memberikan THR.

Bahkan ada beberapa sanksi yang siap diberikan bagi pengusaha yang terlambat membayarkan THR.

Ini diatur pada Pasal 5 ayat (4) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total THR Keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. Sedangkan perusahaan yang tidak membayar THR juga akan dikenai sanksi administratif.

Untuk besaran perhitungan THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:

  • Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah,
  • Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: masa kerja/12 x 1 (satu) bulan upah.

Upah 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas komponen upah:

  • upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atau
  • upah pokok termasuk tunjangan tetap.

Baca juga: Jangan Asal Hitung! Ini Cara Menghitung Gaji Karyawan Harian yang Benar

Tak Ada Potongan THR

Selain perusahaan wajib memberikan, Masykur menambahkan jika THR itu tidak ada potongan. Artinya pembayaran THR harus dibayarkan secara penuh.

“Bedakan antara THR dengan gaji. Kalau upah bisa dipotong sampai 50%, ini diatur PP (Peraturan Pemerintah) 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. 50% dari Take Home Pay (THP).

Itu masih bisa dipotong atau disesuaikan. Kalau THR saya tidak pernah ketemu THR bisa dipotong karena PP 78 2015 tidak bicara itu,” sebut dia.

Baca juga: COVID-19 Bikin Perusahaan Skala Kecil dan Menengah Kurangi Rekrutmen

Perusahaan Bisa Cicil dan Tunda THR 

Menurut Masykur, THR bisa dicicil dan ditunda pembayaran. Ini menyusul diterbitkannya Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2020 di Perusahaan Dalam Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Adapun alasan penerbitan SE ini menyusul dampak besar yang dirasakan pelaku usaha akibat pandemi COVID-19.

Selain itu, Surat Edaran tersebut untuk memastikan kewajiban pengusaha membayarkan THR menjelang Lebaran.

“Hanya SE yang terakhir ini bicara kalau tidak mampu bayar ya dicicil atau ditunda, tidak dipotong. Artinya terlepas dari unpaid leave, THR tetap harus diberikan tetapi harus dilihat dari kemampuan perusahaan. Kalau mampu bisa dibayar 1 kali upah, kalau tidak mampu bisa dicicil atau ditunda dengan kesepakatan antara kedua belah pihak dan Dinas Ketenagakerjaan terkait,” jelas dia.

Di dalam Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HI.00.01/V/2020, ada beberapa poin penting yang diatur.

Misalnya, pemerintah memberikan sejumlah opsi keringanan bagi pengusaha yang belum sanggup membayaran Tunjangan Hari Raya sesuai aturan perundang-undangan.

Hal ini tentu berbeda dari aturan yang ada yaitu Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dimana setiap pengusaha wajib membayar THR 100 persen bagi pekerja yang memiliki masa kerja di atas 1 tahun.

Pemerintah memberikan beberapa opsi terhadap pengusaha berkaitan dengan pembayaran Tunjangan Hari Raya.

Tentunya opsi ini bisa dilakukan melalui proses dialog antara pengusaha dan pekerja/buruh. Berikut ini opsinya:

  • Bila perusahaan tidak mampu membayar THR secara penuh pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maka pembayaran THR dapat dilakukan secara bertahap,
  • Bila perusahaan tidak mampu membayar THR sama sekali pada waktu yang ditentukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan maka pembayaran THR dapat dilakukan penundaan sampai dengan jangka waktu tertentu yang disepakati,
  • Waktu dan cara pengenaan denda keterlambatan pembayaran THR Keagamaan.

Meskipun ada opsi Tunjangan Hari Raya bisa dibayar dengan cara dicicil atau ditunda, Kemnaker menegaskan perusahaan tetap wajib membayarkan THR. Hal ini ditegaskan dalam poin 4 Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HI.00.01/V/2020.

“Kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran Tunjangan Hari Raya Keagamaan dan denda, tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR Keagamaan dan denda kepada pekerja/buruh dengan besaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta dibayarkan pada tahun 2020.” bunyi Surat Edaran tersebut.

Pertanyaan tentang PHK Ketika Pandemi : Karyawan Status PKWT atau PKWTT Di-PHK, Mana yang Dapat THR?

Baca juga: Pengaruh Turnover Karyawan Terhadap Perusahaan Saat COVID-19

Pertanyaan tentang PHK Ketika Pandemi : Karyawan Status PKWT atau PKWTT Di-PHK, Mana yang Dapat THR?

Bagi karyawan kontrak (PKWT) dan karyawan tetap (PKWTT) ada perbedaan mengenai hak THR terutama terkait dengan jangka waktu saat terputusnya atau berakhirnya hubungan kerja antara karyawan kontrak dan karyawan tetap.

Ini disebutkan dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (3), yakni:

  • Bagi karyawan dengan sistem PKWTT dan terputus hubungan kerjanya terhitung sejak 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, maka ia tetap berhak mendapatkan THR. Sebaliknya jika hubungan kerjanya berakhir lebih lama dari 30 hari, maka hak atas THR-nya gugur.
  • Berbeda bagi karyawan dengan sistem PKWT. Walaupun hubungan kerjanya berakhir dalam jangka waktu 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan, ia tetap tidak berhak atas THR. Artinya, bagi PKW tidak ada toleransi ketentuan mengenai batasan waktu 30 hari yang dimaksud.

Kalau dia PKWTT atau karyawan tetap dan di-PHK minimal 1 bulan sebelum Hari Raya maka dia mendapatkan THR full.

Tetapi kalau dia kontrak atau PKWT di-PHK 1 bulan sebelum Hari Raya maka di Permanaker Nomor 6 Tahun 2016 dinyatakan bahwa PKWT dikecualikan, tidak berlaku untuk hal ini.

UU Bilang maaf tidak dapat THR.

Tinggalkan HR dan Payroll manual, saatnya beralih ke aplikasi HRIS Talenta.

Saya Mau Coba Gratis Talenta Sekarang!

atau

Saya Mau Bertanya Ke Sales Talenta Sekarang!

Baca juga: anduan Kembali Bekerja di Kantor dengan Aman saat New Normal

Image
Delima Meylynda
Selain aktif menulis untuk salah satu media berbahasa Inggris di Jakarta, Delima juga menerjemahkan kemampuannya ke bidang pemasaran, seperti content dan email marketing, CRM, analisis, dan periklanan digital.