Insight Talenta 18 min read

Cari Tahu Poin-Poin UU Cipta Kerja 2024 yang Disahkan Mahkamah Konstitusi

Tayang
31 Oct, 2024
Diperbarui
18 Desember 2024

Pada awal November 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi dari Undang Undang Cipta Kerja yang sebelumnya pernah diajukan oleh Partai Buruh dan beberapa serikat pekerja yang lainnya.

Adanya putusan MK terhadap UU Cipta Kerja ini memiliki dampak besar bagi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia karena mengubah sejumlah regulasi yang sebelumnya memberatkan kelas pekerja.

Seperti yang kita ketahui, pengesahan Rancangan UU Omnibus Law Cipta Kerja jadi sorotan banyak kalangan. Poin-poin dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini pun kini sudah disetujui oleh anggota DPR.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, meski dalam proses pembahasan antara pemerintah dengan parlemen diiringi protes. Pun setelah disahkan oleh dewan.

Pada prosesnya, RUU yang kemudian menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkahmah Konstitusi (MK).

Sebagai penggantinya, Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2022 lalu mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU Cipta Kerja 2020.

Selang beberapa bulan, pada tanggal 21 Maret 2023, DPR melalui Rapat Paripurna akhirnya secara resmi menyetujui penggantian Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Kemudian pada 31 Oktober 2024, MK mengabulkan sejumlah gugatan yang telah diajukan oleh beberapa pihak dari serikat buruh dan Partai Buruh.

Apa saja poin-poin dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini dan perubahannya semenjak putusan MK? Berikut ulasan dari Mekari Talenta.

Ringkasan Isi Artikel:

  • Pengertian Dari Omnibus Law
  • Poin Penting Putusan MK atas UU Cipta Kerja Terbaru di Tahun 2024 Mulai Dari Aturan Terkait Upah hingga PHK
  • Isi Dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Sebelum Ada Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 sepanjang 687
  • Gunakan Aplikasi HRIS agar mempermudah administrasi ketika terjadi perubahan aturan dari pemerintah

Apa Itu Pengertian ‘Omnibus Law’?

Omnibus Law adalah sebuah konsep yang menggabungkan secara resmi (amandemen) beberapa peraturan perundang-undangan menjadi satu bentuk undang-undang baru.

Ini dilakukan untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan memangkas masalah dalam birokrasi, yang dinilai menghambat pelaksanaan dari kebijakan yang diperlukan.

Konsep omnibus law atau juga dikenal dengan omnibus bill sendiri umumnya digunakan di negara yang menganut sistem common law, seperti Amerika Serikat dalam membuat regulasi.

Jadi, UU Omnibus Law Cipta Kerja artinya UU baru yang menggabungkan regulasi dan memangkas beberapa pasal dari undang-undang sebelumnya termasuk pasal tentang ketenagakerjaan menjadi peraturan perundang-undangan yang lebih sederhana.

Dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, maka UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) tidak berlaku lagi.

Isi Poin Penting Putusan MK atas UU Cipta Kerja Terbaru di Tahun 2024: Dari Upah hingga PHK

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengabulkan sejumlah gugatan terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan oleh kelompok buruh pada kamis (31/10/2024), dengan putusan panjang yang mencakup berbagai aspek ketenagakerjaan, dari upah minimum hingga ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Putusan ini merupakan respon atas protes dari beberapa serikat buruh, termasuk FSPMI, KSPSI, KPBI, KSPI, dan Partai Buruh, serta beberapa buruh individu.

Berikut adalah poin utama utama dari keputusan MK, yang terbagi dalam beberapa klaster penting untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam dari Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023 sepanjang 687 halaman itu.

1. UU Ketenagakerjaan Terpisah dari UU Cipta Kerja

MK menginstruksikan agar undang-undang yang mengatur ketenagakerjaan disusun secara terpisah dari UU Cipta Kerja.

Mahkamah menilai bahwa ketentuan terkait ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja saat ini sulit dipahami oleh masyarakat umum dan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan.

Dengan pemisahan ini, diharapkan undang-undang ketenagakerjaan dapat lebih spesifik, jelas, dan fokus pada perlindungan hak-hak pekerja.

2. Pengutamaan Tenaga Kerja Indonesia atas Tenaga Kerja Asing

MK membatalkan beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang dianggap multitafsir mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA).

Putusan tersebut menegaskan bahwa tenaga kerja asing hanya boleh dipekerjakan pada posisi tertentu, untuk jangka waktu yang terbatas, dan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan jabatan yang diduduki.

Selain itu, aturan ini juga harus memprioritaskan tenaga kerja lokal dalam hal pengisian posisi.

Ketentuan lama:

  • Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023 Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.
  • Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023 Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.

Ketentuan baru:

  • Pasal 42 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023 Setiap Pemberi Kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh “menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu Menteri Tenaga Kerja”.
  • Pasal 42 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU 6/2023 Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai “dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.

3. Penegasan Durasi Kontrak Kerja

MK memperjelas ketentuan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dengan menetapkan batas waktu maksimal kontrak selama lima tahun, termasuk perpanjangan. Aturan ini diharapkan dapat memberikan kepastian dan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja kontrak.

Sebelumnya, UU Cipta Kerja memberikan fleksibilitas pada kontrak kerja yang dikhawatirkan bisa memperpanjang ketidakpastian bagi karyawan.

Ketentuan lama:

  • Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU 6/2023 Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja.
  • Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU 6/2023 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

Ketentuan baru:

  • Pasal 56 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU 6/2023 Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu “dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan”.
  • Pasal 57 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran UU 6/2023 Perjanjian kerja waktu tertentu “harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”.

4. Pembatasan Jenis Pekerjaan Outsourcing

Mahkamah meminta pemerintah untuk mengatur jenis dan bidang pekerjaan yang dapat dilakukan melalui outsourcing atau alih daya.

Dengan batasan ini, MK berharap bahwa hanya jenis pekerjaan tertentu yang dapat dialihdayakan, untuk menghindari penyalahgunaan praktik outsourcing yang sering memicu konflik antara pekerja dan perusahaan.

Ketentuan lama:

  • Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU 6/2023 Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Ketentuan baru:

  • Pasal 64 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU 6/2023 Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”.

5. Opsi Libur Dua Hari Seminggu Kembali Berlaku

MK mengembalikan opsi untuk memberi pekerja dua hari libur dalam seminggu, seperti yang diatur dalam undang-undang sebelumnya.

Sebelum revisi UU Cipta Kerja, aturan tersebut hanya memberi pilihan libur satu hari per minggu bagi pekerja.

Dengan adanya opsi ini, perusahaan kini dapat kembali memberikan pilihan libur dua hari untuk mendorong kesejahteraan pekerja dan menyesuaikan dengan standar yang sudah ada.

Ketentuan lama:

  • Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
  • Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

Ketentuan baru:

  • Pasal 79 ayat (2) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu “atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”.
  • Pasal 79 ayat (5) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran UU 6/2023 Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Perusahaan tertentu memberikan istirahat panjang yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Catatan: MK menghilangkan kata “dapat”.

6. Upah Harus Mengandung Komponen Hidup Layak

MK menilai bahwa komponen hidup layak harus tetap menjadi bagian dari ketentuan pengupahan.

Komponen ini meliputi kebutuhan dasar pekerja seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Mahkamah menegaskan bahwa ketentuan upah dan kompensasi menurut UU Omnibus Law Cipta Kerja harus mencerminkan penghidupan yang layak, yang juga harus mampu mencakup kebutuhan keluarga pekerja secara wajar.

Ketentuan lama:

  • Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Ketentuan baru:

  • Pasal 88 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.

7. Pengaktifan Kembali Dewan Pengupahan

Dewan pengupahan, yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja, dihidupkan kembali melalui putusan MK ini.

Dewan pengupahan berperan dalam memberikan masukan terkait kebijakan upah, sehingga penentuan kebijakan tidak hanya di tangan pemerintah pusat tetapi juga mempertimbangkan masukan dari pihak daerah, termasuk pemerintah daerah dan perwakilan pekerja.

Ketentuan lama:

  • Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
  • Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU 6/2023 Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan.

Ketentuan baru:

  • Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”.
  • Pasal 98 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran UU 6/2023 Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan “yang berpartisipasi secara aktif”.

8. Skala Upah Proporsional

MK menginstruksikan bahwa struktur dan skala upah harus bersifat proporsional, mempertimbangkan berbagai faktor seperti kontribusi tenaga kerja terhadap perekonomian daerah dan kebutuhan hidup layak.

Struktur upah yang proporsional diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi pekerja dan perusahaan, sehingga kepentingan keduanya tetap terpenuhi.

Ketentuan lama: 

  • Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU 6/2023 Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas.

Ketentuan baru:

  • Pasal 92 ayat (1) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran UU 6/2023 Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, “serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi”.

9. Diberlakukannya Kembali Upah Minimum Sektoral

Putusan MK ini juga mengembalikan ketentuan mengenai Upah Minimum Sektoral (UMS), yang sebelumnya dihapus dalam UU Cipta Kerja.

UMS memungkinkan pekerja di sektor tertentu, terutama yang memiliki risiko atau tuntutan tinggi, untuk mendapatkan upah minimum yang berbeda.

Dengan adanya UMS, pekerja di sektor-sektor tertentu dapat terlindungi dengan upah yang sesuai dengan tingkat kesulitan dan risiko pekerjaan.

Ketentuan lama:

  • Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. struktur dan skala upah;
  • Pasal 88C UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
  • Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
  • Pasal 88F UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).

Ketentuan baru:

  • Pasal 88 ayat (3) huruf b UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU 6/2023 Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: b. struktur dan skala upah “yang proporsional”;
  • Pasal 88C UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara. penetapan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.
  • Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. “Indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.
  • Pasal 88F UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU 6/2023 Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

10. Peran Serikat Pekerja dalam Pengupahan

Putusan MK juga mengembalikan peran serikat pekerja dalam menentukan upah yang di atas minimum.

Sebelumnya, UU Cipta Kerja menghilangkan keterlibatan serikat pekerja dalam penetapan upah, yang menyebabkan ketidakseimbangan antara pekerja dan perusahaan dalam negosiasi upah.

Dengan melibatkan serikat pekerja, pengaturan upah diharapkan dapat lebih adil dan mempertimbangkan berbagai faktor seperti masa kerja, jabatan, dan kompetensi.

Ketentuan lama:

  • Pasal 90A UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU 6/2023 Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Ketentuan baru:

  • Pasal 90A UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 31 Lampiran UU 6/2023 Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh “atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Perusahaan”.

11. Ketentuan PHK Baru Hanya Bisa Dilakukan Setelah Putusan Inkrah

MK menegaskan bahwa PHK hanya bisa dilakukan setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Dengan aturan ini, proses PHK harus didahului dengan perundingan antara karyawan dan perusahaan untuk mencapai kesepakatan yang adil.

Ketentuan lama:

  • Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023 Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh
  • Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023 Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Ketentuan baru:

  • Pasal 151 ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023 Dalam hal Pekerja/Buruh telah diberitahu dan menolak Pemutusan Hubungan Kerja, penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit “secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh”
  • Pasal 151 ayat (4) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU 6/2023 Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja “hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”.

12. Batas Bawah Penghargaan Masa Kerja (UPMK)

Putusan MK juga menetapkan bahwa Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) dalam UU Cipta Kerja adalah batas minimum.

Hal ini memberikan jaminan bagi pekerja bahwa mereka akan menerima penghargaan yang layak atas masa kerja yang telah mereka jalani, sejalan dengan prinsip keadilan dalam hubungan kerja.

Ketentuan lama:

  • Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023 Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  • Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023 Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

Ketentuan baru:

  • Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran UU 6/2023 Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “paling sedikit”:
  • Pasal 157A ayat (3) UU 13/2003 dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran UU 6/2023 Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya, “sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI”.

Alasan MK Mengabulkan Gugutan dari Serikat Buruh

Salah satu alasan MK mengubah aturan pada UU Cipta Kerja adalah karena isinya banyak yang tidak beririsan dengan Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Padahal, UU ini masih diakui isinya secara umum. Maka dari itu, sebagian besar putusan terkait perubahan UU Cipta Kerja akan menghidupkan beberapa aturan yang terdapat pada UU No. 13/2003, seperti proses penentuan upah minimum.

Keputusan ini dilakukan agar melindungi hak-hak pekerja dan memberikan kejelasan hukum dalam hubungan kerja di Indonesia.

Nantinya, putusan MK harus segera direspon oleh pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan juga presiden agar pekerja dan pengusaha dapat segera menyesuaikan.

Baca Juga: Omnibus Law Cipta Kerja, Solusi atau Kontroversi?

Isi UU Omnibus Law Cipta Kerja Terbaru Sebelum Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2023

Sejak beberapa kali pergantian dari UU menjadi Perppu kemudian disahkan kembali menjadi UU, UU Cipta Kerja tidak banyak berubah secara signifikan. Substansinya masih sama.

Jiak dijabarkan, UU Cipta kerja ini terdiri atas 11 klaster pembahasan dengan beberapa poin di dalamnya, di antaranya:

  1. Penyederhanaan perizinan berusaha
  2. Persyaratan investasi
  3. Ketenagakerjaan
  4. Kemudahan dan perlindungan UMKM
  5. Kemudahan berusaha
  6. Dukungan riset dan inovasi
  7. Administrasi pemerintahan
  8. Pengenaan sanksi
  9. Pengadaan lahan
  10. Investasi dan proyek pemerintahan
  11. Kawasan ekonomi

Dari sebelas klaster seperti yang disebutkan di atas, tentunya ada ratusan pasal dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Namun Mekari Talenta hanya akan memaparkan sejumlah pasal berkaitan langsung dengan ketenagakerjaan sebagaimana yang jadi perhatian banyak kalangan.

Poin-Poin Utama UU Omnibus Law Cipta Kerja Sebelum Putusan MK

Jika disandingkan dengan undang-undang pendahulunya, pada UU Cipta Kerja ini ada beberapa perbedaan terkait kebijakan ketenagakerjaan.

Ada perubahan dan penghapusan terhadap beberapa pasal yang ada dalam UU 13/2003.

Berikut poin-poin perubahan pada UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan 13/2003:

Jam Kerja/Hari Libur

Poin terkait aturan jam kerja atau hari libur dalam UU baru ini adalah:

1. Jam Kerja

Waktu kerja lembur menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu.

Pada UU sebelumnya, disebutkan waktu kerja lembur paling banyak hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.

2. Hari Libur Mingguan

Hari libur bekerja atau istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja.

Artinya, dalam seminggu hari kerja sebanyak 6 hari itu liburnya 1 hari.

Ini berbeda dengan UU 13/2003 yang mencantumkan bahwa istirahat mingguan sesuai Pasal 79 ayat (2) huruf b ada 2 pilihan, yakni istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

3. Istirahat Panjang

Tidak ada kewajiban bagi perusahaan atas pemberian istirahat panjang.

Jadi, hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus yang selama ini berlaku di UU sebelumnya itu diserahkan sebagai kewenangan perusahaan.

4. Cuti Haid

Tidak tercantum cuti haid bagi perempuan di hari pertama dan kedua.

Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti haid diubah atau dihilangkan

Dalam Pasal 81 UU 13/2003 diatur bahwa pekerja/buruh wanita wajib mendapat cuti selama masa haid dan dibayar upah.

5. Cuti Hamil-Melahirkan

Tidak tercantum mengenai cuti hamil dan melahirkan.

Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait cuti hamil-melahirkan diubah atau dihilangkan.

Pada UU sebelumnya Pasal 82, diatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan.

Di dalamnya termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran.

6. Hak Menyusui

Tidak tercantum mengenai hak menyusui.

Belum bisa dipastikan apakah pasal terkait hak menyusui diubah atau dihilangkan.

Sebelumnya dalam Pasal 83 UU 23/2003 diatur bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.

uu omnibus law cipta kerja

Ilustrasi jam kerja dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja

Status Pekerja/Karyawan

Pasal mengenai PKWT yang ada di UU Ketenagakerjaan dihapus. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang syarat Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

Artinya, tidak ada batasan aturan pekerja bisa dikontrak alias status kontrak tanpa batas.

Pasal dalam UU 13/2003 yang dihapus ini adalah Pasal 59, yang mengatur perjanjian PKWT terhadap pekerja maksimal dilakukan selama 2 tahun, lalu boleh diperpanjang kembali dalam waktu 1 tahun.

Jika mengacu pada penjelasan Pasal 59 ini, artinya masa kontrak pekerja maksimal 3 tahun, dan setelah itu dilakukan pengangkatan atau tidak dilanjutkan.

Namun, Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan dalam laman media sosialnya bahwa status PKWT dan PKWTT tetap ada.

Ilustrasi karyawan kontrak dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Ilustrasi karyawan kontrak dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja

Upah

Sementara itu aturan mengenai pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan, di antaranya:

  1. Upah minimum
  2. Struktur dan skala upah
  3. Upah kerja lembur
  4. Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
  5. Bentuk dan cara pembayaran upah
  6. Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
  7. Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya

Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan ada 11 kebijakan pengupahan.

4 ketentuan terkait pengupahan pada UU 13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini adalah:

  1. Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
  2. Upah untuk pembayaran pesangon
  3. Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
  4. Denda dan potongan upah

Baca juga: Payroll Administration System, Solusi Praktis Kelola Gaji Karyawan

1. Upah Satuan Hasil dan Waktu

Dalam UU Cipta Kerja ini, diatur mengenai upah satuan hasil dan waktu.

Upah satuan hasil adalah upah yang ditetapkan berdasarkan satu waktu seperti harian, mingguan atau bulanan. Ini termasuk juga upah per jam.

Upah satuan hasil ini ditetapkan berdasarkan hasil dari pekerjaan yang telah disepakati.

2. Upah Minimum

Di UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, upah minimum disebutkan hanya berupa Upah Minimum Provinsi (UMP).

Artinya, Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) tidak digunakan lagi.

Sehingga penentuan upah minimum berdasarkan provinsi atau gaji UMP.

3. Rumus Penghitungan Upah Minimum

Dalam menghitung besar upah minimum, dalam UU Cipta Kerja digunakan rumus:

UMt + 1 = UMt + (UMt) x % PEt)

Keterangan:

  • UMt: Upah minimum tahun berjalan
  • PEt: Pertumbuhan ekonomi tahunan
  • Tidak memasukkan perhitungan inflasi, tetapi menjadi pertumbuhan ekonomi daerah

Rumus penghitungan upah minimum dalam UU 13/2003 adalah:

UMt + {UMt, x (INFLASIt + % Δ PBDt)}

Keterangan:

  • UMt: Upah minimum yang ditetapkan
  • UMt: Upah minimum tahun berjalan
  • INFLASIt: Inflasi tahunan
  • Δ PDBt: Pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahunan

4. Bonus

Pada UU Omnibus Law Cipta Kerja diatur mengenai pemberian bonus, atau penghargaan lainnya bagi pekerja sesuai masa kerjanya.

Sementara itu dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya tidak diatur terkait dengan pemberian bonus ini.

Ilustrasi upah karyawan dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Ilustrasi upah karyawan dalam UU Cipta Kerja

Penghapusan Upah Minimum bagi UMKM

Berdasarkan UU Cipta Kerja, pemerintah kini mengecualikan pemberian upah minimum untuk pengusaha mikro dan kecil.

Ini tercantum dalam Pasal 90B UU Cipta Kerja yang berbuny:

Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (21 dikecualikan lagi usaha mikro dan kecil.

Menurut pasal tersebut, upah karyawan dari usaha mikor dan kecil bergantung pada kesepakatan antara pemberi kerja dan karyawan.

Pesangon

Berikut beberapa poin mengenai uang pesangon dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dibanding UU Ketenagakerjaan:

1. Uang Penggantian Hak

Tidak ada uang penggantian hak dalam UU Cipta Kerja.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengenai uang penggantian hak ini diatur dalam Pasal 154 ayat (4).

2. Uang Penghargaan Masa Kerja

Tidak ada uang penghargaan masa kerja 24 tahun dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini.

Sebelumnya, dalam UU 13/2003 ini terkait pemberian uang penghargaan bagi pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 24 tahun atau lebih menerima uang penghargaan sebanyak 10 bulan upah, yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (3).

3. Uang Pesangon

Terkait pesangon dalam UU Cipta Kerja adalah sebagai berikut:

  1. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan
  2. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan
  3. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.
  4. Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika pekerja/buruh meninggal
  5. Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.

Sedangkan aturan mengenai uang pesangon dalam UU Ketenagakerjaan 13/2003 sebagai berikut:

  1. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena melakukan pelanggaran setelah diberi surat peringatan yang diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian perusahaan atau perjanjian kerja sama (diatur dalam Pasal 161).
  2. Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perubahan status atau penggabungan perusahaan maupun perubahan kepemilikan perusahaan, sebesar 1 kali gaji, uang penghargaan masa kerja 1 kali, uang penggantian hak (diatur dalam Pasal 156).
  3. Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit (sesuai Pasal 164 dan 165)
  4. Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika pekerja/buruh meninggal dunia.
  5. Uang Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun. Pesangon diberikan sebanyak 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 dan 167).

Ilustrasi pesangon dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Ilustrasi pesangon dalam UU Cipta Kerja

Jaminan Sosial

Pengaturan mengenai jaminan sosial dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU 13/2003 diantaranya:

1. Jaminan Pensiun

Tidak ada sanksi pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun.

Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan diatur bagi perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp500.000.000.

2. Jaminan Kehilangan Pekerjaan

Adanya pengaturan program jaminan sosial baru, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan perusahaan berdasarkan prinsip asuransi sosial.

Jaminan kehilangan pekerjaan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU 13/2003.

Ilustrasi PHK dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Ilustrasi PHK dalam UU Cipta Kerja

Baca juga: Mudahnya Proses Insentif Pajak dengan Menggunakan Talenta

PHK

Berikut perbedaan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 dibanding UU Ketenagakerjaan ini. Anda juga bisa membaca artikel Panduan Cara Menghitung PPh Pasal 21 untuk Karyawan Kena PHKuntuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut terkait ini.

Boleh Melakukan PHK

Dalam UU 13/2003, ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK, di antaranya:

  1. Perusahaan bangkrut
  2. Perusahaan tutup karena merugi
  3. Perubahan status perusahaan
  4. Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
  5. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
  6. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
  7. Pekerja/buruh mengundurkan diri
  8. Pekerja/buruh meninggal dunia
  9. Pekerja/buruh mangkir

Sementara itu, pada UU Omnibus Law Cipta Kerja ini bertambah 5 poin lagi, sehingga totalnya menjadi 14 alasan yang memperbolehkan perusahaan melakukan PHK, yaitu:

  1. Perusahaan melakukan efisiensi
  2. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
  3. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
  4. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
  5. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan

Itulah poin-poin dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 yang perlu diketahui dan dipahami, baik pekerja pada umumnya, maupun secara khusus bagi Anda yang bekerja di bagian pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) atau Human Resources (HR) dalam perusahaan.

Ilustrasi profesi HR perusahaan

Baca Juga: Hal yang Perlu Diketahui HR Soal Konsep Omnibus Law

UU Omnibus Law Cipta Kerja Disahkan, Pengelolaan SDM Makin Mudah dengan Aplikasi HRIS

Tak jarang urusan mengelola SDM dalam sebuah perusahaan menyita banyak waktu dan energi.

Terutama bila urusan absensi masih menggunakan cara manual, kemungkinan human error sangatlah besar.

Perlu penggunaan aplikasi absensi pegawai online, agar mempermudah pengelolaan SDM.

Selain dihadapkan pada kebutuhan data yang akurat, bidang HR juga harus melakukan berbagai hal terkait kebutuhan pegawai sekaligus perusahaan.

YouTube video
Untuk mempermudah pengelolaan SDM dan hal terkait lainnya dalam perusahaan Anda, lakukan dengan cara praktis melalui software atau aplikasi HRIS (Human Resources Information System) seperti Mekari Talenta.

Melalui sistem absensi online ini, Anda dapat melakukan pembaruan (update) data absen karyawan dengan mudah dan valid.

Sehingga pengolahan data yang diperlukan untuk melakukan kebijakan yang akan diambil semakin mudah dan cepat.

Maupun melakukan berbagai macam aktivitas HR lainnya dengan lebih sederhana dan bisa dilakukan di mana saja secara online karena berbasis web (cloud system).

Temukan Solusi HR di Aplikasi HRIS Mekari Talenta Di Era UU Omnibus Law Cipta Kerja

Melalui HRIS, Anda dapat mengelola Basic HR Management seperti sistem penggajian, kompensasi dan benefit, data pegawai, kinerja pegawai, informasi terkait payroll, hingga kebijakan dan prosedur perusahaan.

Anda dapat menemukan berbagai solusi HR melalui aplikasi HRIS Mekari Talenta.

Dengan HRIS Mekari Talenta, bukan hanya HRM saja yang dapat mudah Anda kelola, tapi juga memudahkan dalam pembuatan laporan bulanan HRD, hingga aplikasi cuti dan mengotomasi pekerjaan-pekerjaan yang berulang dan masih banyak lagi.

Hubungi tim Mekari Talenta kapan pun yang Anda inginkan dan temukan solusi praktis dari berbagai pekerjaan HR Anda.

Misalnya untuk kebutuhan program payroll karyawan, database karyawan, dan beragam fitur yang diperlukan oleh HR.

Dengan aplikasi Mekari Talenta, semua urusan HR semudah dari sekadar yang dibayangkan.

Image
Mekari Talenta
Temukan artikel-artikel terbaik seputar HR dari tim editorial Mekari Talenta. Kami mengumpulkan, menyusun, dan membagikan insight-insight menarik untuk membantu bisnis mengelola serta mengembangkan talenta-talenta unggulan.
WhatsApp Hubungi sales