Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan salah satu keputusan sulit yang dapat diambil oleh perusahaan dalam kondisi tertentu. PHK tidak hanya berdampak pada pekerja yang kehilangan pekerjaannya, tetapi juga memberikan konsekuensi bagi perusahaan itu sendiri, baik dari segi hukum, keuangan, maupun citra perusahaan seperti yang akan diulas Mekari Talenta di sini.
Dalam konteks regulasi ketenagakerjaan di Indonesia, salah satu pasal yang mengatur PHK adalah Pasal 164 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal ini memberikan dasar hukum bagi perusahaan untuk melakukan PHK dalam kondisi tertentu, seperti mengalami kerugian secara terus-menerus, keadaan memaksa (force majeure), atau alasan efisiensi.
Namun, penerapan PHK berdasarkan pasal ini tidak dapat dilakukan sembarangan. Perusahaan harus memenuhi syarat dan prosedur yang berlaku, serta mempertimbangkan dampaknya, baik bagi pekerja maupun bagi keberlangsungan bisnis.
Perusahaan Dapat Melakukan PHK dengan Alasan Mengalami Kerugian atau Force Majeure
1. Kerugian Perusahaan yang Berkelanjutan
Salah satu kondisi yang memungkinkan perusahaan melakukan PHK adalah ketika perusahaan mengalami kerugian terus-menerus selama dua tahun berturut-turut. Kerugian ini harus dibuktikan dengan laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Dalam dunia bisnis, kerugian perusahaan dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
- Penurunan pendapatan akibat turunnya permintaan pasar.
- Meningkatnya biaya produksi yang tidak diimbangi dengan peningkatan harga jual.
- Ketidakmampuan bersaing dengan kompetitor.
- Kebijakan ekonomi dan regulasi yang berdampak negatif pada industri tertentu.
Namun, meskipun perusahaan mengalami kerugian, PHK bukan satu-satunya solusi. Perusahaan dapat mempertimbangkan opsi lain, seperti:
- Restrukturisasi keuangan, seperti pemangkasan biaya operasional atau penyesuaian strategi pemasaran.
- Penyesuaian sistem kerja, misalnya dengan menerapkan sistem kerja hybrid atau kerja paruh waktu untuk mengurangi beban gaji atau upah.
- Kolaborasi dengan mitra bisnis, seperti merger atau joint venture untuk memperkuat daya saing.
Jika PHK tetap dianggap sebagai langkah yang tak terhindarkan, maka perusahaan harus memastikan bahwa prosesnya dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan memperhatikan hak-hak pekerja.
2. PHK karena Keadaan Memaksa (Force Majeure)
Selain mengalami kerugian, perusahaan juga dapat melakukan PHK jika menghadapi kondisi force majeure atau keadaan memaksa yang menyebabkan perusahaan tidak dapat beroperasi secara normal.
Force majeure dapat terjadi akibat:
- Bencana alam, seperti gempa bumi, banjir, atau kebakaran besar yang merusak aset dan infrastruktur perusahaan.
- Situasi politik yang tidak stabil, seperti perang atau konflik sosial yang mengganggu operasional bisnis.
- Pandemi atau wabah penyakit, seperti yang terjadi pada COVID-19, di mana banyak perusahaan harus menghentikan operasi atau mengurangi tenaga kerja akibat penurunan permintaan dan pembatasan sosial.
Dalam hal terjadi force majeure, pekerja yang terkena PHK berhak atas:
- Uang pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
- Uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156.
- Uang penggantian hak, yang meliputi kompensasi cuti tahunan yang belum diambil, biaya pulang bagi pekerja dan keluarganya, serta hak lain yang diatur dalam perjanjian kerja.
Meskipun demikian, perusahaan harus bisa membuktikan bahwa kondisi yang terjadi memang memenuhi syarat sebagai force majeure dan bukan sekadar strategi untuk mengurangi tenaga kerja secara sepihak.
Baca Juga: UU Cipta Kerja Tentang PHK
Perusahaan Dapat Melakukan PHK dengan Alasan Efisiensi
1. PHK sebagai Dampak dari Efisiensi Perusahaan
Efisiensi merupakan salah satu alasan yang dapat digunakan perusahaan untuk melakukan PHK. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan No.19/PUU-IX/2011 memberikan interpretasi khusus terhadap Pasal 164 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan.
Menurut putusan tersebut, PHK dengan alasan efisiensi hanya dapat dilakukan jika perusahaan benar-benar tutup secara permanen atau tidak beroperasi lagi dalam jangka waktu lama.
Hal ini berarti bahwa perusahaan tidak dapat melakukan PHK hanya karena ingin mengurangi jumlah tenaga kerja untuk menekan biaya operasional, sementara perusahaan masih beroperasi. Jika perusahaan tetap beroperasi, maka alasan efisiensi tidak dapat digunakan sebagai dasar PHK.
Namun, jika perusahaan benar-benar tutup secara permanen, maka pekerja yang terkena PHK berhak atas:
- Uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan.
- Uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 Ayat (3).
- Uang penggantian hak sesuai Pasal 156 Ayat (4).
Keputusan untuk melakukan PHK dengan alasan efisiensi harus dipertimbangkan secara matang karena berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang bagi citra perusahaan dan hubungan industrial dengan pekerja.
Baca Juga: Pengertian, Jenis, Contoh Surat & Perhitungan Pesangon PHK Karyawan
Apa Dampak PHK bagi Perusahaan?
Meskipun PHK dapat menjadi solusi bagi perusahaan dalam kondisi tertentu, keputusan ini tetap memiliki konsekuensi yang harus diperhitungkan.
1. Beban Keuangan untuk Pesangon dan Kompensasi
Salah satu dampak utama dari PHK adalah kewajiban perusahaan untuk membayar pesangon dan kompensasi kepada pekerja yang terdampak. Besaran pesangon yang harus dibayarkan bisa cukup besar, terutama jika perusahaan memiliki banyak pekerja dengan masa kerja panjang.
Jika perusahaan tidak memiliki perencanaan keuangan yang baik, pembayaran pesangon dalam jumlah besar dapat memengaruhi stabilitas keuangan dan operasional perusahaan.
2. Dampak Hukum jika PHK Tidak Sesuai Prosedur
PHK yang dilakukan tanpa memenuhi ketentuan hukum berisiko menimbulkan gugatan hukum dari pekerja atau serikat pekerja. Jika gugatan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan perusahaan terbukti melakukan PHK secara tidak sah, maka perusahaan bisa dikenakan sanksi berupa:
- Kewajiban membayar kompensasi lebih besar.
- Pemulihan hak pekerja, termasuk pengembalian pekerja ke posisi semula.
3. Penurunan Moral dan Produktivitas Karyawan yang Tersisa
PHK yang dilakukan tanpa komunikasi yang baik dapat menimbulkan ketidakpuasan dan kecemasan di antara karyawan yang masih bertahan. Hal ini dapat berdampak pada:
- Penurunan motivasi dan produktivitas kerja.
- Meningkatnya angka turnover akibat karyawan yang memilih meninggalkan perusahaan.
- Kesulitan dalam menarik talenta baru di masa depan akibat citra perusahaan yang negatif.
4. Dampak pada Reputasi Perusahaan
Reputasi perusahaan dapat terdampak negatif jika PHK dilakukan secara tidak transparan atau tanpa mempertimbangkan kesejahteraan pekerja. Reputasi buruk dapat menyebabkan perusahaan kehilangan kepercayaan dari pelanggan, mitra bisnis, dan calon tenaga kerja.
Kesimpulan
PHK merupakan langkah terakhir yang sebaiknya hanya dilakukan jika memang tidak ada alternatif lain. Pasal 164 UU Ketenagakerjaan memberikan dasar hukum bagi perusahaan untuk melakukan PHK dalam kondisi tertentu, seperti mengalami kerugian, terkena force majeure, atau alasan efisiensi.
Namun, perusahaan harus memahami bahwa keputusan PHK memiliki konsekuensi yang luas, baik dari segi keuangan, hukum, maupun reputasi. Oleh karena itu, perencanaan yang matang, komunikasi yang transparan, dan kepatuhan terhadap regulasi sangat penting untuk memastikan bahwa PHK dilakukan secara adil dan bertanggung jawab.