Ketentuan THR bagi Karyawan yang Terkena SP

By EmanuellePublished 19 Mar, 2022 Diperbarui 20 Maret 2024

Ketentuan pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan (THR) bagi pegawai dengan berbagai status perjanjian kerja, telah dibahas di artikel Mekari Talenta sebelumnya. Pertanyaan lain yang sering ditanyakan Bagian HRD adalah ketentuan THR karyawan yang terkena SP.

SP atau surat peringatan atau juga yang sering disebut juga dengan surat teguran jamak terjadi di perusahaan.

Ada kalanya, surat peringatan ini memiliki konsekuensi terhadap potongan gaji karyawan. Namun apakah berpengaruh juga pada jumlah THR yang diberikan kepada pegawai yang menerima SP tersebut?

Ketentuan Terkait Penerbitan Surat Peringatan

Ketentuan THR bagi Karyawan yang Terkena SP

Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang THR, perlu Anda ketahui beberapa hal tentang pemutusan hubungan kerja yang diatur oleh Pasal 161 Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 sebagai berikut:

  1. Apabila pekerja/ pegawai melakukan suatu pelanggaran ketentuan sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja.
    Pemutusan hubungan kerja ini dapat dilakukan setelah pengusaha memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut kepada pekerja dimaksud.
  2. Surat peringatan tersebut pada masing-masing tingkatan berlaku untuk paling lama enam bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama antara pekerja dan perusahaan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Surat Peringatan (SP) adalah mekanisme yang legal sebagaimana diatur oleh Undang-undang, yang wajib dilaksanakan oleh perusahaan sebelum menjatuhkan PHK kepada pegawai yang melakukan pelanggaran atas perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan atau perjanjian kerja bersama.

Sebagaimana desbutkan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 161 ayat 2, Surat Peringatan 1, 2, dan 3 masing-masing berlaku maksimal selama enam bulan bulan.

Apabila pegawai yang mendapat SP 1 melakukan pelanggaran lagi dalam kurun waktu enam bulan, maka perusahaan boleh menerbitkan SP 2 kepada yang bersangkutan, dan demikian seterusnya.

Akan tetapi, apabila yang bersangkutan melakukan pelanggaran setelah enam bulan dari penerbitan SP 1, maka perusahaan hanya boleh mengeluarkan SP 1 kembali, bukan SP 2.

Baca juga: Karyawan Dirumahkan Apakah Tetap Dapat THR?

Ketentuan Tunjangan Hari Raya Karyawan

Ketentuan Tunjangan Hari Raya Karyawan

Tunjangan Hari Raya Keagamaan diatur dalam Permenaker Nomor 6 Tahun 2016. Permenaker tersebut mengatur tentang siapa saja yang berhak menerima THR dari perusahaan pada pasalnya yang pertama sampai dengan pasal dua sebagai berikut:

1. Penerima THR adalah Karyawan atau Keluarganya

Berdasarkan Pasal 1 (1) yang berbunyi, “Tunjangan Hari Raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan,” dapat disimpulkan bahwa yang berhak menjadi penerima THR adalah orang-orang yang memiliki status Pekerja/Buruh atau keluarganya.

2. Penerima THR adalah Karyawan dengan Masa Kerja Tertentu

Terkait dengan Pasal 1 ayat 1 di atas, Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 menyebutkan syarat masa kerja tertentu. Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa, “Pengusaha wajib memberikan THR Keagamaan kepada Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih.”

Jadi pegawai baru yang perekrutannya menjelang hari raya, apabila telah resmi bekerja selama sebulan atau lebih telah berhak mendapatkan THR. Adapun besaran THR tersebut sifatnya proporsional terhadap masa kerja pegawai.

3. Penerima THR adalah Karyawan yang Terikat Perjanjian Kerja

Pasal 2 ayat 2 dari Permenaker Nomor 6 Tahun 2016 menyebutkan bahwa Tunjangan Hari Raya Keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 di atas diberikan kepada Pekerja/ Pegawai yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT atau yang sering dikenal dengan pegawai tetap) atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT atau yang sering disebut dengan pegawai kontrak).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan di Indonesia Ketentuan mensyaratkan 3 hal bagi pegawai untuk menerima THR, yakni 1) Pekerja/ Pegawai atau keluarganya, 2) memiliki masa kerja minimal 1 bulan, serta 3) terikat hubungan kerja dengan pengusaha.

Perhitungan THR bagi Karyawan yang Terkena Surat Peringatan

Jika dikaitkan dengan penerbitan Surat Peringatan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pegawai yang terkena surat peringatan masih berhak mendapatkan THR, berlaku juga untuk karyawan yang mendapatkan skorsing.

Hal ini karena pegawai yang mendapatkan Surat Peringatan secara hukum masih terikat perjanjian kerja, karena belum mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga tetap berhak atas uang THR, dengan catatan yang bersangkutan telah memiliki masa kerja selama 1 bulan terus menerus atau lebih.

Pertanyaannya berikutnya adalah tentang besaran THR bagi pegawai yang terkena SP. Karena Permenaker tidak mengatur secara eksplisit perbedaan antara pegawai yang terkena SP dan tidak, maka ketentuan besaran THRnya tetap mengikuti ketentuan perhitungan THR karyawan secara umum.

Sesuai Permenaker, besaran THR pegawai adalah sebesar satu bulan upah bagi pegawai yang telah memiliki masa kerja 12 bulan atau lebih. Sedangkan bagi pegawai yang masa kerjanya kurang dari satu tahun namun lebih dari satu bulan, besaran THRnya dihitung secara proporsional.

Rumus perhitungan THR secara proporsional adalah masa kerja/12 x satu bulan upah

Definisi “satu bulan upah” sebagaimana disebutkan di atas dapat berbeda-beda sesuai dengan perjanjian kerja pegawai. Namun umumnya, perusahaan menggunakan salah satu besaran berikut sebagai basis perhitungan THR, a) Hanya gaji pokok atau b) Gaji pokok dan tunjangan tetap.

Pasal 4 Permenaker mengatur, apabila perhitungan besaran THR Keagamaan berdasarkan perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama atau kebiasaan perusahaan, nilainya lebih besar dari nilai THR Keagamaan.

Sebagaimana perhitungan berdasarkan Permenaker Pasal 3 ayat 1, maka besaran THR Keagamaan yang dibayarkan kepada Pekerja/ Pegawai dapat sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan perusahaan.

Hal tersebut menganut asas bahwa perusahaan boleh membayarkan besaran THR dengan nilai yang lebih tinggi dari nilai yang ditetapkan oleh Permenaker. Namun, perusahaan tidak diperkenankan untuk menetapkan nilai THR lebih kecil dari nilai THR sebagaimana diatur oleh Permenaker.

Baca juga: Ini Ulasan Lengkap Aturan Cuti Lebaran dan THR

Kesimpulan

Dengan demikian, jika ada peraturan perusahaan yang mengatur pemotongan atau penghapusan THR pegawai yang mendapat Surat Peringatan, maka hal tersebut melanggar peraturan perundang-undangan.

Pelanggaran peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya pembayaran THR yang tidak sesuai dengan ketentuan pemerintah dapat dikenai sanksi yang cukup berat.

Sanksi tersebut adalah sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembatasan izin dalam melaksanakan kegiatan usaha, penghentian sementara atau seluruh alat produksi, atau bahkan pembekuan kegiatan usaha.

Oleh karena itu, perusahaan harus memberikan perhatian kepada perhitungan THR pegawai yang harus dibayarkan. Agar dapat dilakukan tepat waktu dan nilainya sesuai dengan ketentuan.

Perhitungan THR memang menjadi momok tersendiri bagi bagian HRD, karena selain variabelnya bermacam-macam tiap pegawai, dalam perhitungan THR, Bagian HRD juga sekaligus harus memperhitungkan PPh21 pegawai.

Untuk mempermudah pekerjaan bagian HRD, Anda dapat menggunakan aplikasi Mekari Talenta.

Mekari Talenta dapat mengintegrasikan database karyawan dengan data payroll dan perhitungan PPh 21 THR, dapat dilakukan secara simultan. Pekerjaan menjadi sangat efisien sekaligus akurat.

Emanuelle