Other 4 min read

Utang Perusahaan dan Stabilitas Ekonomi Indonesia

By Ervina LutfiPublished 09 Dec, 2019 Diperbarui 20 Maret 2024

Tahukah Anda jika kondisi utang perusahaan Anda bisa turut serta menambah utang Indonesia? Ya, benar, selama ini pemerintah banyak disoroti masyarakat karena pertambahan utang akibat kebijakan fiskal ekspansif.

Padahal di dalam utang luar negeri Indonesia, tidak hanya utang pemerintah, melainkan terdapat juga utang swasta atau utang perusahaan termasuk BUMN. Dimana porsi utang swasta pun cukup besar, yaitu hampir sama dengan utang pemerintah.

Utang Luar Negeri = Utang Perusahaan + Utang Pemerintah

Dalam rilis Kementerian Keuangan tentang Utang Negara, posisi per Februari 2018 Utang Pemerintah adalah sebesar Rp3.958,6 triliun (62,73% dibandingkan total). Sementara Utang Swasta adalah sebesar Rp2.351,7 triliun (37,27% dibandingkan total). Total Utang Luar Negeri per Februari 2018 menurut catatan Kementerian Keuangan adalah sebesar Rp6.310,36 T.

Data Bank Indonesia pada Juli 2019 tentang Utang Luar Negeri Indonesia dalam dollar Amerika Serikat menunjukkan bahwa Utang Swasta sedikit lebih besar dibandingkan Utang Pemerintah. Utang Swasta yang termasuk BUMN ada pada titik US$197,8 miliar, sementara utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$197,5 miliar.

Angka ini menyentuh kisaran lima puluh persen. Mungkin, konsep berutang ini tidak terlalu dipahami dampak makronya oleh banyak perusahaan. Karena pada masing-masing perusahaan, bisa jadi merasa utang luar negerinya tidak signifikan. Namun, seperti istilah sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, demikianlah utang perusahaan berpengaruh pada utang Indonesia.

Untuk itu, penting bagi Anda, untuk memahami betapa besar dampak yang dapat ditimbulkan dari pengelolaan keuangan dan utang perusahaan.

Mengapa Negara dan Perusahaan Berutang

Sebagaimana kita ketahui bersama, utang adalah pembiayaan yang diterima di masa sekarang, dimana penerima utang harus mengembalikan pembiayaan tersebut di masa yang akan datang.

  • Utang Pemerintah

Bagi beberapa negara, seperti Indonesia, Utang Luar Negeri diperlukan untuk membiayai APBN. Saat ini, Indonesia memiliki kebijakan fiskal ekspansif, dimana belanja negara lebih besar dibandingkan penerimaan negara, dengan tujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Penerimaan negara sendiri berasal dari pendapatan pajak dan non pajak yang disetorkan ke dalam kas negara.

Kementerian Keuangan menyampaikan dalam rilisnya, bahwa di tahun 2019 Utang Luar Negeri difokuskan untuk membiayai infrastruktur serta untuk membiayai pembangunan yang menyangkut Indeks Pembangunan Manusia. Dimana manfaat dari pembiayaan ini baru dapat dirasakan beberapa tahun ke depan, namun akan memiliki efek pengungkit bagi kemajuan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang.

  • Utang Perusahaan

Sama seperti yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan juga berutang dengan harapan akan mendapatkan efek pengungkit bagi kemajuan bisnisnya. Biasanya hal ini dilakukan saat perusahaan siap untuk berekspansi, dan membutuhkan tambahan modal.

Tentu saja perhitungan utang tidak boleh dilakukan dengan sembarangan, karena akan menimbulkan biaya bunga yang harus ditanggung di kemudian hari. Apabila perhitungan meleset, yang berujung pada kerugian akibat ekspansi, maka perusahaan dapat mengalami gagal bayar.

Gagal bayar yang sistemik, dapat menimbulkan masalah perekonomian secara lebih luas atau makro. Terkait dengan hal ini, mari kita mempelajari krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1998.

Krisis Ekonomi 1998 dan Sejarah Utang Indonesia

Krisis ekonomi yang terjadi hampir di seluruh Asia pada tahun 1998 atau yang oleh beberapa pengamat, Asian Crisis berawal dari Thailand. Setelah kejatuhan nilai baht Thailand, nilai won Korea menyusul jatuh. Krisis tersebut kemudian menjalar ke Indonesia, Malaysia, Filipina dan juga negara-negara Asia lainnya.

Dikutip dari Kementerian Keuangan, penyebab utama terjadinya Asian Crisis, secara umum adalah perilaku moral hazard dan balance sheet effects yang merajalela. Moral hazard pengusaha muncul akibat implicit government guarantee yang siap mem-bail-out perusahaan swasta dan juga bank yang sedang dalam masalah, serta adanya jaminan keuntungan bagi para investor.

Akibatnya terjadi fenomena berhutang dan berpiutang secara masif dari pihak pengusaha dan juga dalam industri perbankan. Ketika terjadi krisis tentulah semua pihak dirugikan. Banyak industri yang akhirnya hancur, pengusaha yang gulung tikar, dan masyarakat menderita karena krisis ekonomi menjalar ke krisis multidimensi.

Pada saat itu, karena nilai rupiah anjlok, utang luar negeri yang diperhitungkan berdasarkan dollar Amerika Serika meningkat tajam. Rasio utang terhadap pendapatan produk bruto pada masa pemerintahan Presiden Soeharto sebelumnya adalah sebesar 57,7 persen.

Ketika krisis ekonomi, di era Presiden BJ. Habibie tahun 1999, rasio utang terhadap PDB Indonesia berada pada angka 85,4 persen. Selanjutnya, menurun perlahan di era Presiden Abdurahman Wahid ditahun 2001, yaitu di level 77,2 persen.

Tahun 2004, pada era Presiden Megawati Soekarno Putri rasio utang terhadap PDB adalah sebesar 56,5 persen. Sementara pada masa pemerintahan Presiden SBY rasio utang terhadap PDB Indonesia berada pada angka 24,7 persen. Saat ini, di era Presiden Jokowi rasio hutang terhadap PDB Indonesia, tahun 2018 berada di angka 29,91 persen.

Kementerian Keuangan mengklaim kondisi ini merupakan kondisi yang aman bagi perekonomian Indonesia. Bahkan Kementerian Keuangan menyatakan dibandingkan dengan negara lain, perbandingan antara defisit APBN dengan pertumbuhan ekonomi negara Indonesia menduduki peringkat yang lebih baik dibandingkan Turki, Mexico dan Brazil.

Rata-rata defisit Indonesia sebesar -1,6% per PDB dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6%, sedangkan Turki, Mexico dan Brazil secara berurutan memiliki rata-rata defisit sebesar -2,1%, -3,3% dan -4,3% dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8-%, 2,2%, dan 2,1%.

Kebijakan Makroprudensial

Selain, perbandingan antara nilai defisit APBN dan pertumbuhan ekonomi, PDB Indonesia pada tahun 2018 pun dinyatakan ada di urutan 16 terbesar dunia. Hal ini mendudukkan Indonesia pada negara-negara G-20, atau negara dengan perekonomian terbesar di dunia. Namun, bukan berarti kita boleh terlena dan kembali mengulangi kesalahan di tahun 1998.

Baik pemerintah maupun pengusaha sebagai bagian dari sistem perekonomian, tetap harus melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi (perekonomian secara umum) dan mikroekonomi (keuangan dalam perusahaan).

Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan utang. Maka pemerintah dalam mengambil kebijakan utang harus berhati-hati dalam pengelolaannya, agar memberikan manfaat yang sebesar-besarnya secara efektif dan efisien. Sementara bagi pengusaha, maka dalam berutang pun, memperhatikan kemampuan bayar, serta melakukan tindakan-tindakan lain agar besaran utang dapat diminimalisasi.

Bagaimana Meminimalisasi Utang Perusahaan

Utang perusahaan dengan tujuan ekspansi, masih dapat ditoleransi karena bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dalam rangka menjangkau pasar. Namun, apabila utang perusahaan dilakukan karena biaya operasional yang melebihi pendapatan, maka perlu dilakukan evaluasi dan koreksi dalam perusahaan.

  • Melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas.

Hal pertama yang perlu dilakukan untuk meminimalisasi utang, adalah mengurangi biaya dengan meningkatkan efisiensi kerja. Dengan adanya efisiensi, diharapkan adanya peningkatan produktivitas, yang memberikan keuntungan bagi perusahaan.

  • Mencegah fraud atau penipuan yang dilakukan pegawai.

Kerugian, atau pembengkakan biaya juga mungkin timbul akibat adanya perilaku oknum yang tidak bertanggung jawab di dalam perusahaan. Contohnya adalah sistem reimbursement perjalanan dinas. Hal ini mudah dimanipulasi, apabila perusahaan tidak memiliki sistem pengawasan yang baik.

  • Melakukan kontrol biaya.

Perlu adanya sistem yang dapat digunakan untuk mengontrol biaya secara real time. Aplikasi online seperti Talenta, dapat digunakan untuk mendukung sistem tersebut, khususnya biaya yang ditimbulkan dari tenaga kerja, sehingga Anda dapat mengontrol biaya perusahaan kapan saja dan dimana saja.

  • Analisis biaya dan manajemen operasional

Lakukan analisis biaya dan manajemen operasional secara berkala, agar Anda dapat menemukan cara untuk menjalankan bisnis Anda dengan efisien dan bebas utang.

Image
Ervina Lutfi
Kontributor yang rutin memproduksi tulisan seputar HR dan bisnis, dengan pembahasan teliti, terstruktur, dan mudah dipahami.