Hal yang Perlu Diketahui HR Soal Konsep Omnibus Law

By Wiji NurhayatPublished 22 Jan, 2020 Diperbarui 20 Maret 2024

Pemerintah tengah merampungkan kebijakan Omnibus Law. Salah satu yang juga diatur dalam aturan ini adalah klaster ketenagakerjaan. Nantinya ketika Omnibus Law berlaku, semua hukum lain yang mengatur topik yang sama secara otomatis gugur.

Ide Omnibus Law sebenarnya dicetuskan pemerintah merespons perlambatan dan ketidakpastian perekonomian global hingga gejolak geopolitik dunia. Semuanya sangat mempengaruhi perekonomian nasional Indonesia.

Perlu diingat, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 5 tahun terakhir berkisar di angka 5 persen. Pemerintah menganggap ekonomi Indonesia harus tumbuh lebih tinggi lagi.

Baca juga: Catat! Paket Kompensasi Penting bagi Karyawan

Salah satu penyumbang terbesar ekonomi Indonesia adalah investasi. Realisasi investasi tahun 2019 (sampai dengan kuartal III 2019) sebesar Rp601 triliun. Nilainya dirasa terlalu kecil sehingga perlu upaya ekstra untuk menarik investasi guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Masalahnya adalah meningkatkan investasi di Indonesia tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah satu penyebabnya karena banyak aturan yang berbelit. Untuk itu, Omnibus Law diperlukan sebagai upaya mereformasi regulasi.

Singkatnya, Omnibus Law seperti undang-undang sapu jagat, membabat aturan yang dianggap parasit. Tujuannya investasi yang masuk meningkat sehingga ekonomi Indonesia mampu tumbuh tinggi.

Cikal Bakal Adanya Omnibus Law

Menjadi pertanyaan, apa sebenarnya yang dimaksud Omnibus Law? Secara harfiah, kata omnibus berasal dari bahasa Latin omnis yang berarti banyak dan lazimnya dikaitkan dengan sebuah karya sastra hasil penggabungan beragam genre, atau dunia perfilman yang menggambarkan sebuah film yang terbuat dari kumpulan film pendek.

Adapun dari segi hukum, kata omnibus lazimnya disandingkan dengan kata law atau bill yang berarti suatu peraturan yang dibuat berdasarkan hasil kompilasi beberapa aturan dengan substansi dan tingkatannya berbeda.

Menurut Kamus Hukum Merriam-Webster, istilah Omnibus Law berasal dari Omnibus Bill, yakni undang-undang yang mencakup berbagai isu atau topik.

Omnibus Law atau Omnibus Bill dulunya diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengamendemen beberapa UU sekaligus. Konsep Omnibus Law sebenarnya berusia cukup tua, di Amerika Serikat (AS) tercatat UU tersebut pertama kali dibahas pada 1840.

Menurut Audrey Obrien (2009), Omnibus Law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.

Sementara bagi Barbara Sinclair (2012), Omnibus Bill merupakan proses pembuatan peraturan yang bersifat kompleks dan penyelesaiannya memakan waktu lama karena mengandung banyak materi meskipun subjek, isu, dan programnya tidak selalu terkait.

Jadi, dapat dikatakan Omnibus Law merupakan metode atau konsep pembuatan peraturan yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi suatu peraturan besar yang berfungsi sebagai payung hukum (umbrella act).

Dan ketika peraturan itu diundangkan berkonsekuensi mencabut beberapa aturan hasil penggabungan dan substansinya selanjutnya dinyatakan tidak berlaku, baik untuk sebagian maupun secara keseluruhan.

Konsep Omnibus Law di Indonesia

Secara historis, praktik penerapan Omnibus Law telah banyak diterapkan di berbagai negara common law system, dengan tujuan untuk memperbaiki regulasi di negaranya masing-masing dalam rangka meningkatkan iklim dan daya saing investasi.

Dengan kata lain, Omnibus Law sebagai strategi reformasi regulasi agar penataan dilakukan secara sekaligus terhadap banyak Peraturan Perundang-undangan (PUU).

Ada beberapa manfaat penerapan Omnibus Law seperti menghilangkan tumpang tindih antar PUU, efisiensi proses perubahan/pencabutan PUU, hingga menghilangkan ego sektoral.

Di Indonesia, penerapan Omnibus Law sebenarnya sudah dilakukan untuk Undang Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Dengan Omnibus Law maka secara otomatis mencabut beberapa pasal dalam beberapa UU sebelumnya.

Seperti dijelaskan sebelumnya, Omnibus Law merupakan metode yang digunakan untuk mengganti atau mencabut beberapa materi hukum dalam berbagai UU. Konsekuensi dari adanya Omnibus Law ini adalah pertama UU existing masih tetap berlaku, kecuali sebagian pasal (materi hukum) yang telah diganti atau dinyatakan tidak berlaku.

Kedua adalah UU existing tidak diberlakukan lagi, apabila pasal (materi hukum) yang diganti atau dinyatakan tidak berlaku merupakan inti/ruh dari undang-undang tersebut.

Omnibus Law untuk Mencetak Lapangan Kerja

Pemerintah akan membidik implementasi Omnibus Law untuk menciptakan lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya. Kondisi saat ini, terdapat lebih dari 7 juta orang yang belum mendapatkan pekerjaan (pengangguran). Sedangkan setiap tahun, jumlah angkatan kerja baru bertambah sebanyak 2 juta orang.

Di tahun 2019 lalu, jumlah pekerja informal di Indonesia sangat mendominasi, yaitu sebanyak 74,1 juta (57,26 persen). Sedangkan jumlah pekerja formal hanya 55,3 juta atau 42,74 persen.

Dominasi pekerja informal disebabkan perkembangan ekonomi digital yang memacu wiraswasta secara online dan mandiri, serta karakteristik kaum milenial yang cenderung memilih jam kerja fleksibel.

Sedangkan hitungan pemerintah adalah setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menyerap 400 ribu pekerja. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 5 persen dalam 5 tahun terakhir.

Pemerintah merasa harus memacu pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen atau lebih per tahunnya. Tujuannya untuk membuka lapangan kerja baru guna menampung 2 juta pekerja baru dan 7 juta pengangguran yang ada.

Kesulitannya adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 6 persen memerlukan investasi baru sebesar Rp4.800 triliun. Jadi, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, memerlukan Rp800 triliun. Sebuah angka yang besar bukan? Untuk itu, pemerintah butuh Omnibus Law untuk memudahkan investasi yang masuk.

Pemerintah pun mengajukan 8 klaster yang dibahas di Omnibus Law untuk meningkatkan investasi, yaitu penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMK-M, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, hingga kawasan ekonomi.

Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan

Pemerintah memasukkan beberapa komponen baru  di Omnibus Law yang diklaim untuk memberikan perlindungan bagi karyawan atau pekerja di Klaster Ketenagakerjaan. Apa saja komponen baru tersebut yang perlu diketauhi HR (Human Resources)?

  1. Perhitungan Upah Minimum

Untuk kenaikan Upah Minimum (UM), Omnibus Law mengacu kepada pertumbuhan ekonomi daerah. Konsepnya sedikit berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 yang diukur berdasarkan inflasi ditambah dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pemerintah menegaskan UM tidak turun dan tidak dapat ditangguhkan.

UM hanya berlaku bagi pekerja baru yang bekerja kurang dari 1 tahun, namun pekerja tersebut tetap dimungkinkan menerima upah di atas UM dengan memperhatikan kompetensi, pendidikan dan sertifikasi.

Karyawan atau pekerja dengan masa kerja 1 tahun ke atas, mengikuti ketentuan upah sesuai dengan struktur upah dan skala upah pada masing-masing perusahaan. Untuk industri padat karya dapat diberikan insentif berupa perhitungan upah minimum tersendiri. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan usaha dan kelangsungan bekerja bagi pekerja.

Di dalam RUU Omnibus Law, UM ternyata bisa diterapkan dengan skema upah per jam. Ada 3 alasan pemerintah mengapa skema upah per jam ini dimunculkan, yaitu:

  • Untuk menampung jenis pekerjaan tertentu (konsultan, pekerjaan paruh waktu, dan lain-lain), dan jenis pekerjaan baru (ekonomi digital),
  • Untuk memberikan hak dan perlindungan bagi jenis pekerjaan tersebut, perlu pengaturan upah berbasis jam kerja, yang tidak menghapus ketentuan upah minimum,
  • Apabila upah berbasis jam kerja tidak diatur, maka pekerja tidak mendapatkan perlindungan upah.
  1. JKP untuk Pekerja yang Di-PHK, Pengganti Uang Pesangon?

Tidak hanya soal skema upah per jam yang baru dimunculkan, pemerintah juga tidak mencantumkan komponen uang pesangon (diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003) kepada karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di dalam Omnibus Law.

Meski demikian, pemerintah berkomitmen tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK dan tetap mendapatkan kompensasi PHK. Seperti apa kompensasi yang diberikan?

Pemerintah hanya menyebutkan akan menambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. JKP ini memberikan manfaat berupa cash benefit, vocational training, dan job placement access. JKP ini tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.

Pekerja yang mendapatkan JKP, tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), dan Jaminan Kematian (JKm). Sedangkan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja kontrak, diberikan perlakuan dalam bentuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.

Baca juga: Remote Working Jadi Tren, Menguntungkan atau Merugikan Perusahaan?

  1. Pengaturan PKWT, Outsourching, dan Waktu Kerja

Dalam Omnibus Law juga mengatur mekanisme Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT), pekerja alih daya atau outsourcing, dan waktu kerja.

Untuk PKWT, pekerja kontrak mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap, antara lain dalam hal upah, jaminan sosial, perlindungan K3, dan hak atas kompensasi akibat pengakhiran kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Sedangkan perkembangan teknologi digital dan revolusi industri 4.0, menimbulkan jenis pekerjaan baru yang bersifat tidak tetap (ekonomi digital). Pekerja Kontrak pada jenis pekerjaan ini tetap harus diberikan hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap.

Sementara untuk pekerja outsourcing, pemerintah akan memberikan perlindungan hak-hak pekerja. Untuk pekerja outsourcing, baik yang bekerja sebagai pekerja kontrak maupun pekerja tetap, diberikan hak dan perlindungan yang sama,antara lain dalam hal upah, jaminan sosial, perlindungan K3 dan hak atas kompensasi akibat pengakhiran kerja atau PHK.

Sedangkan pemerintah memberikan fleksibilitas waktu kerja dengan tetap mengedepankan hak dan perlindungan pekerja. Berikut ini rinciannya:

  • Paling lama 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu.
  • Pekerjaan yang melebihi jam kerja diberikan Upah Lembur.
  • Pelaksanaan jam kerja diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  • Beberapa pekerjaan yang karena sifatnya, tidak bisa menerapkan jam kerja normal 8 jam per hari (misalnya pekerjaan paruh waktu yang kurang dari 8 jam per hari).
  • Pekerjaan pada sektor-sektor tertentu (migas, pertambangan, perkebunan, pertanian dan perikanan) memerlukan jam kerja yang lebih panjang dari jam kerja normal.
  • Jenis pekerjaan tersebut menerapkan jam kerja sesuai dengan kebutuhan kerja yang bersangkutan, namun tetap mengedepankan perlindungan bagi pekerja antara lain upah, termasuk upah lembur, perlindungan k3, dan jaminan sosial.

Mau tahu lebih lengkap dan detail tentang Omnibus Law? Anda bisa dapatkan dengan mengunduh whitepaper di sini.

Image
Wiji Nurhayat
Editor berpengalaman di industri produksi media. Seorang jurnalis yang terampil, dan memiliki keahlian di bidang content marketing, PR, media relations, dan seorang managing editor profesional.