Mendengar kata milenial pasti sudah tak asing. Di banyak negara termasuk Indonesia, generasi milenial saat ini sangat mendominasi. Sebelum melangkah lebih jauh, kenali dulu siapa generasi milenial itu?
Generasi milenial atau generasi Y adalah kelompok orang yang berusia di antara 24 sampai 37 tahun, atau yang lahir dari tahun 1983 hingga tahun 1995. Sebuah jurnal organisasi global, Deloitte, menyatakan milenial menduduki posisi tertinggi dalam jumlah persentase dibandingkan dengan generasi pendahulunya.
Dengan angka 33,75 persen, generasi milenial bahkan mengalahkan generasi Z yang memiliki persentase 29,23 persen. Maka, sudah sewajarnya jika generasi ini akan mengambil alih generasi-generasi pendahulunya dalam beberapa tahun ke depan.
Namun, ada stigma negatif yang melekat pada generasi milenial. Mereka sering kali dicap malas, tidak terstruktur, kurang bertanggung jawab, hingga kutu loncat. Dibalik stigma negatif tersebut, ternyata ada harapan bagi mereka memiliki hidup yang layak dari apa yang mereka kerjakan.
1. Work Hard Play Hard
Milenial dikenal sebagai generasi yang mempertahankan keseimbangan di antara dua sisi yaitu bekerja keras dan bermain. Sikap ini sangat bertolak belakang dengan lingkungan pekerjaan yang masih menjunjung nilai-nilai konvensional.
Sepulang dari kantor, milenial biasanya meninggalkan urusan pekerjaannya. Waktu yang tersisa setelah jam kerja dimanfaatkan untuk beristirahat, berbicara, dan berkumpul bersama teman-teman atau keluarga. Kebanyakan milenial tidak ingin mengorbankan kehidupan pribadinya untuk menaikkan karier.
Sementara itu, bagi milenial kontribusi seorang karyawan seharusnya tidak diukur dari jumlah hari lembur, tetapi dari hasil yang dicapai. Seperti memproduksi pekerjaan yang berkualitas tinggi, menyelesaikan deadline atau memikirkan gagasan yang out of the box untuk mencapai hasil yang bagus.
Untuk itu, sebagai seorang atasan atau manajer tugas mereka adalah untuk memberdayakan milenial agar terdorong untuk mengatur jadwalnya dan juga memotivasi untuk lebih rajin menyelesaikan pekerjaan.
2. Butuh Lingkungan yang Suportif
Seperti yang dilaporkan oleh Hershatter dan Epstein di artikel mereka berjudul Millennials and the World of Work: An Organization and Management Perspective yang dimuat pada tahun 2010, di dalam pengertian generasi milenial, lingkungan pekerjaan yang suportif adalah sebuah tempat yang meyakinkan mereka dengan pengakuan, apresiasi pencapaian dan jenjang karier yang progresif.
Milenial juga lebih memilih struktur yang jelas, serta cenderung memilih karier yang memberikan mereka stabilitas untuk kehidupan profesional dan personal. Selain itu, milenial juga memiliki keinginan besar untuk bersosialisasi dengan rekan kerja dan supervisornya.
3. Kerap Dianggap Kutu Loncat
Sudah diketahui secara umum jika generasi milenial memiliki loyalitas yang rendah. Sederhananya tak setia kepada perusahaan. Banyak juga yang menyebut sebagai kutu loncat. Rata-rata, mereka bertahan di perusahaan hingga 1 tahun saja.
Sebuah laporan analisa dari lembaga analitik internasional, Gallup, menyatakan di tahun 2016 sebanyak 21 persen generasi milenial berganti pekerjaan. Jumlah tersebut melampaui generasi non-milenial tiga kali lipat.
Separuh dari generasi milenial juga menunjukkan ogah untuk bertahan di pekerjaan yang mereka lakukan saat ini. Ada banyak alasan yang mendukung generasi milenial untuk pindah pekerjaan. Pertama, ketidakpuasan terhadap upah, kemampuan yang kurang berkembang, hingga prioritas tujuan hidup.
Deloitte dalam laporannya yang berjudul The Deloitte Global Millennial Survey 2019 menyatakan generasi milenial memiliki lima prioritas sebagai dasar perpindahan mereka.
Pertama adalah bisa keliling dunia dengan jumlah 57 persen, memiliki gaji tinggi dengan persentase 52 persen, hingga membeli rumah, memberikan pengaruh ke masyarakat, dan berkeluarga dengan persentase masing-masing 49 persen, 46 persen, dan 39 persen. Survei yang dilakukan Deloitte ini dilakukan di 42 negara termasuk Indonesia dengan melibatkan 13.416 milenial
Namun, stigma tidak loyalitas pada dasarnya adalah sebuah kesalahpahaman. Milenial mampu memberikan loyalitas apabila mereka didukung oleh perusahaan yang memberikan makna dan tujuan. Jika semua ekspektasi dipenuhi, milenial akan menunjukkan passion dan dedikasi.
“Mau tak mau, setiap perusahaan harus menyediakan lingkungan kerja yang mendukung jika tidak ingin say goodbye. Generasi milenial adalah challenge seeker. Jika perusahaan tidak mampu mengakomodasi tantangan yang mereka tuntut, jangan salahkan mereka (milenial) berpikir untuk mencari tantangan baru di perusahaan lain,” ungkap Marketing and Branding Expert, Yuswohady.
4. Lebih Percaya Teknologi
Milenial sering dijuluki tech savvy atau melek teknologi. Mereka adalah generasi yang menyaksikan revolusi teknologi. Dengan teknologi, semuanya dibuat menjadi lebih mudah. Dikutip dari buzzfeednews.com dari sebuah artikel berjudul How Millennials Became the Burnout Generation yang ditulis Anne H. Petersen menyatakan istilah yang disebut errand paralysis atau lumpuh (saat akan melaksanakan) tugas.
“Pasangan saya sangat dibingungkan dengan rumitnya proses pengiriman formulir reimburse asuransi untuk sesi terapinya setiap minggu. Selama berbulan-bulan dia menunda pengiriman formulir tersebut sampai total reimbursenya mencapai USD 1.000,” kata Anne.
Oleh karena itu, ketika dihadapkan dengan sistem konvensional kemungkinan besar seorang milenial akan menunda atau bahkan tidak melakukan prosedurnya sama sekali. Ujungnya produktivitas berkurang.
Itulah sebabnya banyak perusahaan saat ini yang menggunakan teknologi SaaS (Software as a Service) untuk membantu kelancaran aktivitas human resources di dalam perusahaannya dan mempermudah cara kerja milenial.
Antisipasi Perusahaan
Perusahaan wajib mengantisipasi gaya hidup karyawan milenial yang berbeda. Jika tidak, bukan tidak mungkin mereka lebih memilih berhenti dari pekerjaan.
Secara umum, kehadiran generasi millennial di dunia kerja memberikan warna tersendiri. Jumlahnya yang cukup banyak, membuat cara kerja di suatu perusahaan mau tidak mau diubah dengan karakteristik generasi milenial untuk memaksimalkan potensi mereka.
Demi mencapai target perusahaan, lebih baik cari solusi sama-sama-menang dibanding mempertahankan konsep kerja perusahaan yang konvensional. Ya kan?
-
Sediakan ruang untuk berkembang
Generasi milenial ingin mengetahui perkembangan diri dan berkembang dengan mengikuti kelas training atau seminar, mendapatkan sertifikasi, serta memiliki pemahaman tentang hal yang dituju. Perusahaan harus dapat menyediakan ruang bagi milenial untuk leluasa mengeluarkan pendapat, berkreasi dan mencari ilmu, serta tantangan yang belum mereka alami sebelumnya.
-
Berikan gaji dan paket kompensasi yang menarik
Sebagian besar milenial paham tentang gaya hidup sehat. Mereka mengerti bahwa pola makan dan olahraga yang cukup akan mendukung produktivitas dalam kesehariannya. Selain BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, pertimbangkan fasilitas kesehatan lainnya seperti kelas olahraga dan meditasi.
Hal ini juga menciptakan gagasan bahwa perusahaan peduli terhadap kesehatan karyawannya karena karyawan yang sehat akan semakin produktif. Selain itu, penting untuk memberikan gaji yang bagus bagi mereka.
-
Hapus sistem konvensional
Generasi milenial berkembang dengan teknologi. Mereka paham bahwa hal-hal konvensional yang dapat disederhanakan agar dapat menghemat banyak waktu dan meningkatkan produktivitas.
Sehingga, perusahaan sudah seharusnya lebih menekankan kepada performa. Bukan lagi dari rutinitas kantor, absensi, atau tetek bengek tak penting macam kerapian pakaian. Tentu setiap perusahaan punya penilaian performa masing-masing.
Disini teknologi seperti SaaS diperlukan untuk membantu hal-hal administratif yang tetek bengek tadi. Misalnya untuk mengurus absensi, permintaan cuti, reimburse, hingga overtime. Jadi tak perlu menggunakan lagi formulir maupun dokumen.