Omnibus Law Cipta Kerja, Solusi atau Kontroversi?

By Wiji NurhayatPublished 14 Feb, 2020 Diperbarui 20 Maret 2024

Pemerintah telah merampungkan sekaligus menyerahkan draft Omnibus Law Cipta Kerja ke DPR. Setelah itu, DPR akan membahas pasal per pasal dari Omnibus Law Cipta Kerja. DPR memang memasukkan Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020.

Adapun tujuan utama rancangan aturan tersebut adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya dengan membangun iklim investasi yang sehat, industri yang kuat, dan mendorong partisipasi UMKM. Untuk itu, Omnibus Law Cipta Kerja akan merampingkan 82 undang-undang dan 1.194 pasal. Presiden Joko Widodo pun berharap agar aturan itu dapat disahkan kurang dari tiga bulan, atau sekitar bulan April 2020.

Baca juga: Hal yang Perlu Diketahui HR Soal Konsep Omnibus Law

Hanya saja, Omnibus Law Cipta Lapangan Pekerjaan menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Ada yang setuju, ada juga yang menolak. Lantas seperti apa pandangan dari pemerintah, pengamat, hingga pengusaha?

Berikut ini Insight Mekari Talenta rangkum dari diskusi dengan tema “Mengulas Omnibus Law dari Sisi SDM & Ketenagakerjaan” yang digelar di Ayana MidPlaza, Senin (10/2) dengan format tanya jawab.

Sesditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan, Andriani

  1. Sesditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan, Andriani.  

Q: Apa itu Omnibus Law Cipta Kerja?

A: Merupakan suatu metode menyusun peraturan perundang-undangan. Bukan lagi Cipta Lapangan Kerja tetapi jadi perancangan Cipta Kerja.

Dengan metode Omnibus Law, kita membentuk satu undang-undang baru dengan cara mengambil atau mencabut peraturan-peraturan yang sudah ada di dalam peraturan-peraturan yang lain. Tempo hari ada 80 UU jadi 84, jadi 79, terakhir sekitar 80 (undang-undang) yang dicermati dan kita ambil, dipindahkan ke Rancangan Undang Undang Cipta Kerja. Inilah bedanya dengan penyusunan undang-undang lain. Salah satu diantaranya Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Sebagian dari UU Nomor 13 dicabut dan dimasukkan ke dalam UU Cipta Kerja, inilah yang disebut metode Omnibus Law.

Baca juga:Mengenal Pengertian Hubungan Industrial di Indonesia

Q: Mengapa Ketenagakerjaan masuk ke dalam klaster Omnibus Law?

A: Sekarang ini permasalahan yang dihadapi di ketenagakerjaan kita adalah pengangguran. Ada 7 juta pencarian kerja dan setiap tahun bertambah 2 juta angkatan kerja baru. Jadi sekitar 9 juta. Ini menjadi tanggung jawab bersama, bagaimana caranya pencari pekerjaan ini mendapatkan pekerjaan. Kenapa Cipta Kerja? Kita ingin memberikan kesempatan untuk mereka yang belum bekerja ini untuk mendapat pekerjaan.

Kenapa kita harus menciptakan lapangan pekerjaan? Karena pekerjaan yang ada sekarang ini kita hanya mengandalkan yang sudah ada, sudah diisi oleh orang-orang. Lalu si pencari kerja ini bagaimana? belum lagi Perguruan tinggi setiap tahun meluluskan pencari-pencari kerja. Artinya perlu menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang baru. Kalau tidak, pilihannya menunggu kita pensiun atau menunggu dipanggil ke balikpapan (maksudnya: meninggal dunia). Kalau tidak ada lapangan pekerjaan, posisi tawar pekerja lemah karena suplai dan demand.

Q: Apa saja yang diatur dalam Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan?

A: Ada beberapa substansi ketenagakerjaan yang diambil dari UU Nomor 13 ke dalam rencana undang-undang ini, yaitu upah minimum, PHK atau pesangon, hubungan kerja, jaminan sosial. Aspek ketenagakerjaan ini sangat berpengaruh terhadap penciptaan lapangan pekerjaan.

Sesditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan, Andriani

Q: Soal aturan waktu kerja dengan upah per jam, maksudnya seperti apa?

A: Kenapa kita memasukkan urusan waktu kerja? Ada dua pendekatan. Selama ini dengan aturan yang ada, ada berbagai permasalahan muncul dan kita ingin memperbaiki. Kedua adalah dunia ketenagakerjaan adalah dunia yang sangat dinamis. Perubahan di berbagai aspek berpengaruh dengan ketenagakerjaan harus diiringi dengan perubahan peraturan ketenagakerjaan.

Upah per bulan sudah ada aturannya. Buruh harian lepas sudah ada aturannya. Tetapi bagi mereka yang bekerja jam-jaman belum ada hitungannya.

Jadi yang berkembang di lapangan adalah Apakah upah sekarang akan diubah dari per bulan menjadi per jam? bukan seperti itu. Tapi yang ada adalah kedinamisan dunia pekerjaan.

Kemajuan teknologi berdampak pada cara orang bekerja, mekanisme bekerja, tata kerja, alat kerja, dan lain-lain. Ini semua berdampak kepada waktu bekerja.

Dengan kemajuan teknologi, pekerjaan 2 jam selesai. Kalau tidak mengatur seperti ini bagaimana pengaturan upahnya. Sebelum kemajuan teknologi 4.0 pun sudah banyak orang yang bekerja per jam.

Dulu juga menimbulkan banyak masalah dalam pemberian upah. Contoh guru sanggar tari Didiek Niniek Towo yang mengajar dari satu sanggar ke sanggar lainnya. Gajinya tidak bulanan, misalnya hanya 3-4 jam. Bagaimana aturannya? Sampai sekarang belum ada aturannya. Sehingga di Cipta Kerja ini, bukan mensimplifikasi aturannya, tapi bagaimana mengatur administrasinya menjadi lebih simpel.

Dengan adanya undang-undang ini cukup satu dan mengatur semuanya, simplifikasi prosedur. Jumlah undang-undang belum tentu, UU 13 tidak dicabut tapi hanya diambil sebagian seperti upah minimum, pesangon, dan jaminan sosial.

Q: Omnibus Law Cipta Kerja ini akan mengatur lapangan pekerjaannya untuk sektor apa saja?

A: Omnibus Law tidak hanya akan menguntungkan satu pihak tapi juga semuanya. Pengusaha untuk terus berusaha dan bersaing. Perlindungan pekerja buruh tidak boleh terabaikan. Jadi kita harus menjaga keseimbangan. Menuangkan dalam bentuk peraturan perlu pemikiran.

Sektor prioritas ada di paparan Menteri Perindustrian punya 5 prioritas yaitu makanan minuman, otomotif, elektronik, kimia, tekstil dan produk tekstil. Tapi bukan berarti yang lain tidak dikembangkan. Karena semua sektor mulai dari pertanian sampai jasa sangat berpotensi untuk dikembangkan.

Q: Apakah benar pesangon akan dihapus di Omnibus Law Cipta Kerja?

A: Tidak ada pesangon dihapuskan. Pegawai tetap mendapatkan pesangon. Pegawai tidak tetap bagaimana? kalau selesai masa kontrak ya harus juga dong menerima, nah ini yang kita diskusikan. Baik karyawan tetap maupun tidak tetap mendapatkannya.

Apa sih pesangon itu? Pesangon itu apabila kehilangan atau berakhir masa kerjanya dia harus punya bekal, seperti bekal saat mencari pekerjaan baru, punya uang untuk uang transport, makan minum, dan hidup.

Penambahan keterampilan harus difasilitasi. Nah ini kita rancang. Baik pekerja tetap maupun tidak tetap bisa mendapatkan ini. Jadi pesangon tidak dihapus.

Di UU baru ini bagaimana pesangon bisa terlindungi. Di dalam konsep itu ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Ini yang kita usulkan, jadi orang yang kehilangan pekerjaan dia punya akses untuk pelatihan, keterampilan baru, ada bekal dia mencari kerja dan menghidupi keluarganya.

Baca juga: Mengulas Omnibus Law dari Sudut Pandang SDM dan Ketenagakerjaan

Ekonom Institut Development Economic and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira

Q: Soal Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dari sudut pandangan Ekonom, seperti apa?

A: Omnibus Law yang dulu namanya Cipta Lapangan Kerja menjadi Cipta Kerja, esensinya tetap sama. Ini kita harapkan pada waktu itu tidak menimbulkan banyak kegaduhan. Ada beberapa poin yang intinya deregulasi atau perizinan dibuat lebih mudah. Tapi proses di awal beredar Dewan Penasehat Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja didominasi pengusaha khususnya Kadin dan Apindo.

Berbeda masalahnya dengan Omnibus Law Perpajakan, Sri Mulyani dengan pengusaha berdiskusi berdua saja, sama-sama setuju kelar masalahnya.

Kalau Cipta Kerja membutuhkan multi stakeholder, ada tripartit, pengusaha juga melihat sektoral lagi seperti SDM, kawasan ekonomi khusus, budi daya pertanian. Sehingga menimbulkan pro kontra karena cakupan yang luas.

Q: Menurut Anda, yakin selesai tahun ini?

A: Kira-kira kapan selesai? Banyak pakar hukum yang bilang kalau diserahkan ke ahlinya revisi cepat selesai. Baru pertama kali ini dalam sejarah, DPR akan menghadapi ribuan pasal dan dari sektor yang berbeda. Kira-kira akan selesai kah dalam kurun waktu 10 sampai 11 bulan? Tidak mungkin kelar dalam jangka waktu pendek.

Banyak omnibus-omnibus lain yang menunggu diselesaikan juga. Jadi kapan kelarnya? Saya agak sanksi kalau ini bisa kelar di 2020 karena terlalu banyak sektoral yang dibahas.

Lebih baik prosesnya dibuat panjang di DPR daripada disahkan dan orang berlomba-lomba mengajukan judicial review ke MK (Mahkamah Konstitusi). Selain itu, banyak aturan-aturan yang akan ditentukan setingkat aturan menteri.

Kemudian untuk sektor tertentu dibuat (upah) per jam dan kenaikan upahnya berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah.

Upah minimum naik dengan mengacu pertumbuhan ekonomi.

Bagaimana kalau  pertumbuhan ekonomi di daerah itu negatif? Contoh, Papua negatif di 2019 kemarin, jadi apakah ada kemungkinan upah minimumnya naik negatif? Yang terjadi adalah mem discourage pekerja yang ekonomi daerahnya negatif untuk mencari tempat yang bagus tetapi tidak bisa menyelesaikan pekerjaan karena daerah itu membutuhkan banyak lapangan pekerjaan.

Jadi ini menimbulkan pertanyaan, apakah tetap memakai PP 78 Tahun 2015 atau pertumbuhan ekonomi daerah?

Kalau saya upah per jam sangat happy sekali karena kalau bagi peneliti, dalam 24 jam saya bisa bekerja.

Secara akumulasi saya bisa mendapatkan upah lebih besar. Tetapi jenis pekerjaan tertentu harus lebih hati-hati dan peraturan menterinya harus lebih rigid. Hal ini jangan sampai terjadi ke ekonomi padat karya. Kenapa?

Pengusaha industri saat ini lagi kena Korona, lagi batuk-batuk dan slow down. Mereka menurunkan kapasitas produksinya, mesin-mesin di downsize, itu mempengaruhi jam kerja karyawannya.

Apabila upah per jam terlalu fleksibel, maka pengusaha padat karya membayar karyawannya dengan upah yang lebih rendah lagi. Contohnya tadinya dia bekerja 12 jam tapi jadi di setback menjadi 5 jam per hari, ketika diakumulasikan takutnya gajinya dibawah UMR.

Terkait dengan outsourcing. Ini juga pemerintah supportingnya adalah pengusaha yang meminta outsourcing untuk melakukan efisiensi-efisiensi.

Konteks ekonomi jangan sampai dilepas karena Omnibus Law ini hadir saat ekonomi sedang booming atau slow down? Kalau ekonomi sedang melambat, pengusaha akan menggunakan outsourcing dan mengurangi tenaga kerja tetapnya. Bagi pengusaha enak memang.

Permasalahannya adalah di banyak negara maju menggunakan upah per jam memang ada tetapi agak luput easy to hire and easy to fire harus ada jaminan asuransi pengangguran yang kuat.

Mereka dilatih dan difasilitasi untuk bekerja di tempat yang baru. Sedangkan di Indonesia belum ada.

Tapi intinya kalau asuransi pengangguran kita kuat, maka solusinya negara akan menanggung dan memberikan pelatihan, sehingga saat diakumulasi bulanannya, upah totalnya lebih baik dari upah minimum.

Kemudian soal tenaga kerja asing ini dibahas juga. Ada beberapa sektor yang tidak bisa diisi oleh tenaga kerja lokal, karena kompetensi skillnya belum mencukupi dan TKA dibutuhkan sementara waktu. Harusnya di Omnibus Law ini aturannya dibuat clear sekali, perizinan dan pengawasannya. Karena selama ini yang dikeluhkan adalah level daerah pengawasannya agak kendor.

Terakhir adalah Omnibus Law disepakati untuk dirilis tahun 2020, speednya cepat, dengan asumsi tadi ada dampak kah terhadap kenaikan produktivitas Indonesia? Apakah effort investasi asing banyak akan berinvestasi di Indonesia? Saya jawab 70% tidak akan membantu investasi asing tapi 30% chance ada. Bank Dunia menyebutkan mengapa manufaktur di China pascaperang dagang pindah ke Vietnam? Bank Dunia dalam laporan itu tidak bilang produktivitas tenaga kerja kita, tetapi lebih karena pemerintah belum berhasil (menderegulasi aturan). Karena dari tahun 2015-2018 ada 6.300 peraturan menteri baru yang saling tumpang tindih. Jadi percuma kalau ada Omnibus Law tetapi tidak membuat deregulasi tidak berjalan maksimal. Sehingga ditakutkan dengan adanya Omnibus Law justru banyak peraturan-peraturan turunan yang membuat tenaga kerja asing dapat bekerja di Indonesia.

PGA & IR Division Head Pako Group Agus Marwo Prianto

Q: Singkat saja, apa tanggapan pengusaha terkait dengan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja?

A: Secara pribadi saya belum membaca detail draftnya. Tetapi kalau didemo sama serikat pekerja biasanya menguntungkan pengusaha. Bagi saya, yang terberat bagi pengusaha adalah kenaikan upah. Upah tertinggi saat ini ada di dua lokasi yaitu Karawang dan Jakarta.

Bayangkan upah untuk lulusan SMK yang belum ada pengalaman itu Rp 5,38 juta sekian. Dia itu operator pabrik, pangkat terendah di dalam pabrik. Sementara lulusan S1 kita tidak bisa bayar mahal-mahal, bedanya sekitar Rp 1,5 juta. Jadi bicara Omnibus Law kita angin-angin saja, yang penting (bisa) mendukung pengusaha.

Sejarah Omnibus Law kalau saya cerita sedikit, sebelum pilpres saya diundang ke Sunter (Jakarta Utara) untuk bicara perubahan UU 13. Saya kaget, bisa juga UU ini direvisi. Selama ini siapapun presidennya mundur karena tekanan UU 13. Tetapi pada saat itu disampaikan ini akan dilanjutkan kalau Pak Jokowi menang. Jadi ini sudah ada rencana jangka panjang dan ternyata jadilah Omnibus Law ini.

Kami ini tekanan upah meningkat, sementara otomotif itu sektor global. Kalau misalnya pelek yang kami produksi tidak kompetitif, bisa dengan mudah impor dari Thailand, China atau India. Jadi kita tidak bisa sok-sokan.

Ketika berita Omnibus Law ini ramai, ada untungnya buat kami. Di saat kami berat mengurusi karyawan di pabrik, kami harus mengurangi penumpang di pabrik. Waktu itu ada yang bilang hati-hati lho kalau UU 13 dihapus enggak dapat pesangon, alhamdulillah banyak yang mengajukan advance (pensiun dini). Saya ambil positifnya saja. Sampai hari ini pun kami belum jelas lho termasuk upah per jam. Saya ingat pada saat saya masuk, jumlah karyawan di 2011 itu 2999, hari ini tinggal 1645.

Kembali lagi, kalau bicara Omnibus Law dari sisi pengusaha jelas sangat diuntungkan. Saya bicara praktis saja misalnya bicara pesangon yang bikin investor enggan datang. Yang bikin kesulitan HRD adalah PHK. PHK ini harus ada izin bukan tiba-tiba dilakukan. Akhirnya bagaimanapun juga karena kenaikan upah kami hanya bisa bertahan hidup dengan cara bagaimana? Misalnya pembayaran gaji Rp 1 miliar bisa untuk bayar 100 orang, karena upah naik terus dan customer tidak mau naik harga dan produsen juga berkompetisi yang terjadi adalah kita mengurangi jumlah man power dengan output yang tetap harus naik. Dengan cara ini revenue kami ternyata bisa naik 2 kali lipat dari Rp 1 triliun menjadi Rp 2 triliun lebih.

Omnibus Law ini, terkait kenaikan upah kami sudah mulai evaluasi. Ada kompetitor kami produsen mobil juga yang mulai mengurangi shift menjadi 2. Jadi shift 1 itu 8 jam ditambah over time 4 jam dan shift kedua 8 jam ditambah over time 4 jam. Sehingga 1 shift dicover 2 lembur. Musibah kemudian datang, mereka tidak mau lembur. Otomatis perusahaan ini kehilangan output 1 shift. Biasanya dengan beban lembur yang sangat berat apalagi dipaksakan Sabtu-Minggu, yang terjadi akhirnya impor.

Produksi digeber dengan maksimal tetapi barang impor ternyata masih lebih murah 10 persen. Kami khawatir yang terjadi adalah perusahaan manufacturing jadi trading, mesin yang tadinya berisik jadi hening karena dijadikan gudang. Jadi apa iya kebutuhan man powernya besar? Ini yang kami pikirkan dan khawatirkan.  Jadi mengenai upah minimum tolong diperhatikan. Ketika tidak bisa dikontrol upah menjadi mahal, tetapi output yang diberikan masih dinilai kurang.

Mau tahu lebih lengkap dan detail tentang Omnibus Law Cipta Kerja? Anda bisa dapatkan dengan mengunduh whitepaper di sini.

Image
Wiji Nurhayat
Editor berpengalaman di industri produksi media. Seorang jurnalis yang terampil, dan memiliki keahlian di bidang content marketing, PR, media relations, dan seorang managing editor profesional.